JANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN SENDIRI
Saudaraku.
Hal yang membuat perpecahan di antara Umat Islam adalah adanya masing-masing menafsirkan al-Qur’an sendiri-sendiri, dan sebagai akibatnya, karena tafsirannya tidak sama, bahkan saling bertentangan, masing-masing lalu merasa benar sendiri dan cenderung menyalahkan yang lain; apalagi para murid dan pengikutnya yang fanatik, mereka lalu saling menyalahkan dan menyesatkan.
Padahal, Nabi Saw. melarang dengan keras kepada siapa saja yang ingin menafsirkannya. Bahkan beliau mengancam dengan masuk neraka bagi siapa saja yang telah berani menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri.
Sabdanya:
مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّـارِ .
“Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya atau ro’yunya, maka hendaknya ia menempatkan diri tempatnya di neraka.” Na’udzu billahi min dzalik!.
Di samping itu, Allah Swt. juga menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa orang-orang yang suka menakwil al-Qur’an adalah orang-orang yang condong kepada kesesatan.
Dia berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو الْأَلْبَابِ ()
“Dia-lah (Allah), yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang Muhkamat, itulah pokok–pokok isi al-Qur’an, dan yang lain (ayat-ayat) Mutasyabihat. Adapun orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya, yang mana mereka itu berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya), melainkan orang-orang yang berakal.”3
Allah Swt. menjelaskan pada ayat tersebut, bahwa orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat itu, dan lalu berusaha untuk menakwilkan atau menafsirkannya dengan bagaimana saja yang penting sesuai dengan kehendaknya, yang mana tujuannya adalah untuk menimbulkan fitnah. Padahal, Allah Swt. sudah menjelaskan, bahwa tidak ada yang mengetahui maksud dari ayat-ayat yang Mu-tasyabihat itu melainkan Diri-Nya dan orang-orang yang mendalam Ilmunya. Hanya orang-orang yang mendalam Ilmunya saja-lah yang dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat yang Mutasyabihatitu.
Nah, siapakah orang-orang yang mendalam ilmunya tersebut?. Iya, mereka adalah, “Orang-orang yang pasti dapat memahami isi dan kandungan al-Qur’an secara menyeluruh dan mutlak pula; Yang tidak menafsirkan menurut hawa nafsunya sendiri. Akan tetapi, berdasarkan akalnya yang suci, serta mendapat bimbingan dari Allah Swt.”. Mereka itu di antaranya adalah, Rasulullah Saw., dan orang-orang yang akan kita cari jawabanya dalam kajian ini.
Dengan demikian jelaslah, bahwa al-Qur’an itu ayat-ayatnya ada dua bagian, ada yang jelas dan mudah difahami (Muhkamat) dan ada yang kurang jelas dan sulit untuk difahami; dan siapapun dilarang untuk menafsirkannya, baik yang Muhkamat, apalagi yang Mutasyabihat. Dan secara akal yang waras, mustahil Allah dan Rasul-Nya mengancam terhadap siapa saja yang menafsirkan menurut ro’yu atau pendapatnya sendiri dengan neraka, sementara Dia dan Rasul-Nya kok tidak menyediakan atau menunjuk orang-orang yang berhak menafsirkannya. Pasti Allah dan Rasul-Nya telah menyiapakan dan menunjuknya!, dan merekalah yang akan kita cari jawabanya dalam kajian ini. Sebagaimana firman-Nya:
اِنَّهُ لَقُرْاَنٌ كَرِ يْمٌ () فِى كِتَابٍ مَّكْنُوْنٍ () لاَ يَمَسُّـهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ ()
“Sesunggguhnya al-Qur’an itu adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara. Tidak akan dapat memahami isi dan kandungannya kecuali orang-orang yang disucikan.”12
وَجَعَلْنَا هُمْ أَئِمَّـةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَأِقَامَ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوْا لَنَا عَابِدِيْنَ
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah.”13
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا اَلَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan Orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.”14
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ أُولِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ ()
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu.” 15
Ayat-ayat di atas menunjukkan kepada kita, bahwa ada orang-orang yang telah diberi mandat oleh-Nya untuk menafsirkan dan menjelaskan isi dan kandungan dari wahyu-Nya. Bahkan Dia telah merumuskan, bahwa yang harus kita ta’ati itu ada tiga, yaitu: Diri-Nya sendiri (Allah Swt.), Rasul-Nya (Nabi Saw.), Dan mereka yang seraya tunduk kepada-Nya. Dengan kata lain, kita harus menta’ati Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri-Nya. Merekalah para Imam atau pemimpin kita. Sebagaimana firman-Nya di atas.
Sehingga Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَـانِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً .
“Barangsiapa mati kok tidak mengetahui Imam zamannya, maka matilah ia seperti mati jahiliyah.”
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِـهِ بَيْعَـةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati kok tidak mempunyai sumpah setia di pundaknya, maka matilah ia seperti mati jahiliyah.”
Pada riwayat lain artinya sbb: “Barangsiapa mati kok tidak mempunyai Imam, maka ia mati jahiliyah.”
Demikianlah saudaraku, seharusnya kita tidak akan berani menafsirkan al-Qur’an sendiri-sendiri, akan tetapi, tinggal menyerahkan kepada Allah, Rasul-Nya dan Orang-orang yang seraya tunduk kepada-Nya atau Ulil Amri-Nya. Dan lalu kita tinggal mengikutinya. Dan dengan demikian, berarti setelah Nabi Saw. wafat, mestinya umat Islam tidak perlu bingung dalam memahami al-Qur’an, sebab telah ada orang-orang yang ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai sang pembimbing umat, agar mereka tidak sesat jalan. Nah, siapakah mereka itu?. Itulah yang akan kita cari.
Memang, ketika Rasulullah Saw. wafat, beliau telah menyampaikan seluruh wahyu yang telah beliau terima kepada umatnya. Tidak ada satupun wahyu yang beliau tinggalkan. Dan al-Qur’an, memang telah benar-benar memuat seluruh urusan, baik urusan yang menyangkut masalah keduniaan maupun keakhiratan.
Sebagaimana firman-Nya:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْئٍ ()
“Tiadalah Kami (Allah) alpakan sesuatu-pun di dalam al-Qur’an.”2
Hanya masalahnya, apakah semua rahasia dari isi dan kandungannya telah dijabarkan secara menyeluruh oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya?. Tentunya belum!. Sebab, di samping al-Qur’an hanya memuat masalah-masalah, baik yang berhubungan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat dengan secara global atau garis besarnya saja, usia dan masa hidup beliau yang begitu singkat, sangatlah tidak cukup untuk menjelaskan kesemuanya itu.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Nabi Saw. hidup di Mekkah hanya berjalan selama 13 tahun saja, yang kemudian kita kenal dengan istilah periode “Makiyyah”. Di Mekkah ini, beliau mengalami banyak tekanan yang sangat keras dari orang-orang kafir jahiliyah. Dan jumlah orang yang masuk Islam-pun tidak lebih dari 400 orang. Mereka (para sahabat), menemui Nabi Saw. dengan secara rahasia. Dan sekitar 70 keluarga, yang merupakan separo atau lebih dari jumlah umat Islam pada waktu itu, juga harus hijrah ke Ethiopia. Bahkan, jiwa beliau Saw. sendiri selalu terancam. Orang-orang kafir jahiliyah itu ingin segera membunuh beliau, sehingga karenanya, Allah Swt. memerintahkannya agar hijrah ke Madinah. Dan di Madinah sendiri, yang kemudian dikenal dengan istilah periode “Madaniyyah”, beliau hidup kurang lebih hanya sekitar 10 tahun. Di samping itu, beliau disibukkan oleh berkali-kali adanya peperangan. Bahkan, satu-satunya Nabi di antara para Nabi yang paling banyak perangnya adalah Nabi kita Muhammad Saw..
Mengingat situasi seperti di atas, maka jelaslah, bahwa al-Qur’an pada saat Nabi Saw.. wafat, belum dijabarkan secara keseluruhan kepada umat Islam.
Saudaraku. Tidak ada satupun Imam Madzhab/aliran yang ada di seluruh dunia ini, dari dulu hingga sekarang, yang berani berkata begini: “Wahai kaum muslimin!, ikutilah aku, akulah yang paling benar!.” Sekali lagi kami katakan, tidak ada!. Sebab, bila ada yang berani mengatakan yang demikian itu, maka ia pasti akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan berikut ini:
- Siapa sebenarnya anda ini?.
- Apakah anda sang pemilik agama Islam ini?.
- Atau, apakah anda wakil-Nya?.
- Atau, apakah anda sang pewarisnya?.
- Atau, apakah anda memiliki surat tugas dari sang pemilik agama ini (Allah)?, atau dari sang wakil-Nya (Nabi Saw.), yang menjelaskan tentang pengangkatan anda sebagai Imam atau pemimpin?.
- Mana dalil yang menunjukkan bahwa anda itu seorang yang pasti benar (maksum)?.
- Mana dalil yang memerintahkan supaya kami mengikuti anda?.
- Sejak kapan anda dilantik oleh Allah atau Rasul-Nya untuk supaya diikuti?.
- Mana yang benar di antara pendapat-pendapat yang beredar ini?.
- Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Sebab, sebuah perusahaan milik manusia saja, bila mengangkat seorang tenaga ahli yang ditugaskan untuk menjelaskan hasil produksinya, pasti mempunyai surat tugas dari sang pemilik perusahaan yang mengangkatnya, minimal dari orang yang ditunjuk oleh sang pemilik perusahaan tersebut. Apalagi persoalan agama. Islam ini pasti ada yang punya, yaitu Allah Swt.. Oleh karena itu, siapapun yang mengaku atau merasa sebagai orang yang berhak menjelaskan tentang Islam ini, yang dikenal atau dianggap oleh masyarakat sebagai sang Pewaris Nabi, maka mestinya harus mempunyai surat pengangkatan dari Nabi Saw. dan direstui oleh Allah Swt. sebagai sang pemilik tunggalnya.
Mungkin ada yang mengatakan begini: “Bukankah ada hadits yang menyatakan, bahwa:
اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَـاءِ .
“Para ulama’ itu adalah pewaris para Nabi.”
Iya, begini, mungkinkah sesama Tenaga ahli dari sebuah perusahaan kok saling berselisih, saling bertentangan dalam menjelaskan hasil produksi dari sebuah perusahaan yang mengangkatnya?. Mustahil bukan?. Dan seandainya terjadi, maka sang pemiliknya pasti akan memecat mereka. Sebab, yang demikian itu, pasti akan mencemarkan bahkan menghacurkan perusahaan miliknya.
Nah, jika seluruh orang yang mengaku sebagai ulama’, atau yang diakui sebagai ulama’, atau bahkan dijadikan sebagai ulama’, itu memang sebagai sang pewaris Nabi, sebagaimana anggapan atau pengakuan mereka berdasarkan hadits di atas, maka coba tanyakan kepada mereka:
- Mana bukti pengangkatannya sebagai sang pewaris Nabi itu?.
- Kenapa sesama pewaris Nabi dalam menjelaskan ajaran Islam kok tidak sama?, bahkan kok saling bertentangan?. Jika mereka itu memang sama-sama sang pewaris nabi, mestinya antara satu dengan yang lainnya, dalam menjelaskan ajaran Islam pasti-lah sama, tidak kok saling bertentangan. Namun kenyataannya, di antara mereka itu telah terjadi saling bertentangan, saling menbid’ahkan, saling menyesatkan, bahkan saling mengkafirkan. Sebagaimana contoh-contoh di atas. Malah hingga sekarang tidak pernah selesai. Bahkan makin tumbuh aliran-aliran baru yang bermacam-macam. Padahal, Tuhan mereka itu satu. Nabi mereka satu. Kitab mereka satu. Kiblat mereka satu. Agama merekapun satu. Mestinya, kalau semuanya berasal dari yang serba satu, maka seharusnya yang ngucur kepada kita ya satu. Akan tetapi, kenyataannya kok tidak?. Lalu dari mana sumbernya yang demikian itu?. Inilah yang akan kita cari.
Jadi, dapat diambil satu kesimpulan, bahwa jika kita ingin mendapatkan penjelasan tentang maksud produk dari sebuah perusahaan, maka kita harus bertanya kepada orang-orang yang betul-betul diangkat dengan resmi oleh sang pemilik perusahaan penghasil produk tersebut. Begitu pula bila kita ingin mendapatkan penjelasan tentang Islam yang benar, maka kita harus bertanya kepada para sang pewaris ilmu Nabi Saw. yang telah dilantik oleh beliau dan telah diridhai oleh sang pemiliknya, yaitu Allah Swt..