Senin, 02 Mei 2016

Unknown

BSM | Makalah Kelima

Membedah Shirathal Mustaqiem 1

MENCARI “KEBENARAN”

Saudarakau, di dalam ilmu berhitung atau Matematika, ada sebuah rumus untuk mencari suatu nilai yang benar. Yang pada zaman penulis kecil dulu dikenal dengan istilah, Ilmu Pipo Londo, yakni singkatan dari: Ping, Poro, Lan, Sudo. Yang berarti: Ping = X, Poro = :, Lan = +, dan Sudo = -, yakni, perkalian, pembagian, pertambahan dan pengurangan. Di samping istilah Pipo Londo, ada lagi istilah yang dikenal dengan nama: Poro Gapit atau bagi kurung.

Misalnya, ada soal begini: 2735 : 5 = 457.
Pertanyaannya: “Benar atau salahkah nilai hitungan tersebut?.”

Dalam hal ini, janganlah anda terburu-buru untuk membenarkan atau menyalahkannya, sebab, mungkin saja benar dan mungkin saja salah. Oleh karena itu, sebaiknya diteliti lebih dulu, atau di Poro Gapit saja, biar ketahuan hasilnya.

Dan caranya begini:
5/2735\547
 25  _       
      23
      20 _
        35
        35 _
          0

Bila sudah di Poro Gapit begitu, anda jangan langsung mengatakan, bahwa nilai yang benar adalah 547, dan langsung mengambil kesimpulan, bahwa nilai soal di atas adalah salah. Sekali lagi jangan, sebab kadang-kadang anda salah dalam moro gapitnya. Oleh karena itu, harus dicek lebih dahulu dengan rumus Pipo Londo itu.

Caranya begini:
547 x 5 = ... ?.

Bila hasil dari perkalian tersebut kok berjumlah: 2735, maka berarti anda Moro Gapitnya dengan cara yang benar. Dan bila tidak sesuai dengan 2735, maka anda harus mengecek kembali, artinya, jangan-jangan anda cara Moro Gapitnya salah, atau cara mengalikannya yang salah. Dengan demikian, maka 2735 : 5 = 547. Dan soal di atas jawabannya berarti: “Salah”. Bila anda tidak faham, maka bertanyalah kepada orang-orang tua jaman dulu, atau guru-guru jaman dulu. Mereka pasti faham!.

Nah, dalam persoalan kebenaran ajaran Islam, juga demikian: “Anda jangan sekali-kali berani mengatakan, bahwa madzhab anu atau aliran anu (yang ada di luar anda) itu salah, kemudian menganggap, bahwa madzhab atau aliran yang ada pada anda itu pasti benar. Sebab, boleh jadi anda yang benar dan boleh jadi anda yang salah.”

Oleh karena itu, harus dicek terlebih dahulu. Yakni, sesuaikah ia dengan rumus kebenaran di dalam Islam?. Atau, mungkinkah malah bertentangan dengannya?.

Saudaraku, dalam masalah kebenaran ini, anda tidak bisa mengatakan begini: “Laah...!, saya nggak mau pusing-pusing!. Yang penting saya ibadah, salah atau benar itu nanti tinggal bagaimana saja di hadapan Allah Swt!.. Bukankah Allah itu Maha Pengampun!?. Jika memang salah, Allah pasti mengampuninya!.” Sebab, kalau benar sih tidak apa-apa, dan anda bisa masuk Surga. Lha, kalau salah bagaimana?, bukankah anda masuk Neraka?. Bukankah kita telah mengetahui dan meyakini, bahwa orang yang menyesal di akhirat itu, walaupun menangis darah dan nanah, tidak mungkin ia dikembalikan lagi ke dunia untuk dapat memperbaiki kesalahannya?. Di samping, bukankah dunianya sendiri telah tiada?. Karena itu, fikirkanlah!.

Terkecuali, Allah Swt. tidak memberikan Hujjah-Nya. Atau, Rasulullah Saw. dari sebelum meninggal hingga wafatnya tidak pernah berpesan apa-apa; artinya, beliau membiarkan begitu saja terhadap umat yang ditinggalkannya; terserah mereka mau kemana dan mau bagaimana. Dan seandainya beliau memang benar seperti itu, maka berarti beliau adalah seorang Nabi yang tidak bertanggung jawab terhadap tugasnya dan umatnya. Kemudian, mana bukti kecintaan beliau yang selama ini kita kenal?. Mustahil beliau seperti itu!. Beliau pasti jauh-jauh hari telah berpesan dengan sejelas-jelasnya, yakni kepada siapa umat ini mohon bimbingan setelah ketiadaannya.

Karenanya, siapapun yang tidak segera mencarinya, maka dijamin pasti akan menyesal. Sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

يَا لَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرَاباً ()

“Alangkah baiknya sekiranya saya dulu adalah tanah.”46

Atau mengatakan begini:
“Ya kalau memang salah, maka akan saya tuntut Guru-guru yang telah mengajar saya!.” Sebab, Allah Swt. telah mengisyaratkan bagaimana keadaan nasib orang-orang yang telah mengikuti guru-guru yang salah itu. Sebagaimana firman-Nya:

قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ فِي النَّارِ كُلَّمَا دَخَلَتْ أُمَّةٌ لَعَنَتْ أُخْتَهَا حَتَّى إِذَا ادَّارَكُوا فِيهَا جَمِيعًا قَالَتْ أُخْرَاهُمْ ِلأُولاَهُمْ رَبَّنَا هَؤُلاَءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَ لَكِنْ لاَ تَعْلَمُونَ () وَقَالَتْ أُولاَهُمْ ِلأُخْرَاهُمْ فَمَاكَانَ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ ()

“Masuklah kamu sekalian ke dalam Neraka bersama-sama umat-umat Jin dan manusia yang terdahulu sebelum kamu. Setiap umat masuk ke dalam Neraka, dia mengutuk kawannya yang menyesatkannya. Sehingga, apabila mereka masuk semuanya, berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang yang masuk terdahulu: “Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari Neraka.” Allah Swt. berfirman: “Masing-masing mendapatkan siksaan yang berlipat ganda, akan tetapi, kamu tidak mengetahui.”
Dan berkatalah orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian: “Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas kami, maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan.”47

“Ya Allah, bimbinglah kami ke jalan yang benar. Tunjukkan padaku kebenaran, dan berilah aku kekuatan untuk mengikutinya. Tunjukkan padaku kebatilan, dan berikanlah aku kekuatan untuk menjauhinya.” Amien.

Cara Mengetahui “Kebenaran”.

Saudaraku.

Sebelum kita mulai mencari kebenaran, terlebih dulu kita harus mempunyai rasa rendah hati, tidak merasa benar sendiri atau selalu menyalahkan orang lain, serta memohon dengan khusyu’ kepada Allah Swt., agar kita segera mendapatkan kebenaran yang datang dari pada-Nya.

Apa sebenarnya “Kebenaran” itu?.

Kebenaran adalah: “Sesuatu yang tidak keliru dan tidak bathil”. Dan inilah yang disebut dengan kebenaran mutlak, bukan kebenaran yang relatif, yakni kebenaran yang belum tentu benar. Kebenaran mutlak itu tidak mengandung keraguan dan tidak pula mengandung tipuan. Ia adalah lawan dari kebathilan.

Untuk mengetahui yang benar dan agar dapat membedakannya dengan yang tidak benar, maka hal itu disyaratkan harus dengan adanya dalil atau alasan yang benar. Dalil atau alasan tersebut, di dalam Islam dikenal dengan istilah “Dalil Aqli” dan “Dalil Naqli”.

Dalil Aqli ialah: “Dalil yang berdasarkan akal yang sehat”.
Dalil Naqli ialah: “Dalil yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits”.

Memang, dalam memenuhi kedua dalil tersebut kita disyaratkan mempunyai ilmu yang luas dan kitab-kitab rujukan yang lengkap, sehingga nantinya, dengan itu, kita dapat mengadakan suatu perbandingan. Namun, perlu diingat, bahwa dalam mengadakan suatu perbandingan nanti, jika saja kita ingin mengambil suatu kesimpulan, maka yang akan kita simpulkan nanti tidak boleh berdasarkan madzhab atau aliran yang kita miliki, atau berdasarkan pendapat yang selama ini kita fahami dan yakini, atau berdasarkan kitab-kitab yang selama ini kita baca dan ketahui.

Misalnya, kita menemukan sebuah kebenaran, akan tetapi, kebenaran tersebut kenyataannya kok ada pada madzhab atau aliran yang bukan madzhab atau aliran kita, atau kok di kitab kita telah disebutkan, bahwa madzhab atau aliran tersebut adalah termasuk yang sesat atau yang tidak benar, nah maka dengan ini lalu kita kok menyimpulkan, bahwa kebenaran yang kita temukan tadi adalah bukan merupakan kebenaran.

Jadi, kebenaran itu di manapun adanya, walaupun adanya di luar madzhab atau aliran kita, walaupun adanya di luar sepengetahuan kita, walaupun adanya di luar buku-buku atau kitab-kitab yang selama ini kita baca dan kita ketahui, namun bila sesuai dengan kedua dalil di atas, yakni aqli dan naqli, maka harus kita akui sebagai kebenaran. Sebab, dengan banyaknya pendapat, berarti banyaknya Ijtihad, sedang pendapat para ulama’ antara yang satu dengan yang lainnya kebanyakan tidaklah sama.

Nah, atas dasar itu, maka kita tidak boleh mengukur ijtihad seorang ulama’ dengan madzhab atau aliran kita; atau dengan pendapat yang ada pada buku-buku atau kitab-kitab kita; atau berdasarkan pengetahuan kita. Sebab, jika hal itu kita lakukan, maka semua pendapat, madzhab atau aliran pasti akan kita ragukan, bahkan mungkin akan kita salahkan. Sehingga dengan demikian, kita akan gagal dalam menemukan sebuah kebenaran. Dengan kata lain, kita tidak boleh berfikir subyektif, tapi harus berfikir obyektif.

Sesuatu harus kita akui sebagai benar bila memang memenuhi syarat kedua dalil di atas. Akan tetapi, bila tidak memenuhi syarat kedua dalil di atas, maka sesuatu itu tidak akan kita akui sebagai benar. Dengan kata lain, tanpa menggunakan syarat kedua dalil tersebut, maka segala sesuatu itu hanya akan bersifat relatif (belum tentu benar).

Dengan demikian, dalil aqli dan dalil naqli adalah merupakan kesatuan dalil yang tidak dapat dan tidak mungkin kita pisahkan, karena tanpa dalil aqli, maka mustahil dalil naqli dapat dipahami; sebaliknya, tanpa dalil naqli, maka manusia akan terjebak oleh bias-bias akalnya sendiri.

Jadi, segala sesuatu tidak bisa disebut sebagai benar bila hanya menggunakan dalil aqli saja (tanpa dalil naqli). Begitu juga, segala sesuatu tidak bisa disebut sebagai benar, bila hanya menggunakan dalil naqli saja (tanpa dalil aqli). Begitulah, karena dalil aqli dan dalil naqli adalah merupakan kesatuan yang tidak dapat dan tidak boleh dipisah.

Karenanya, para Hukama’ (orang bijak) mengatakan:

اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْـلُ؛ لاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَقْلَ لَـهُ .

“Agama adalah akal, orang yang tidak berakal tidak akan dapat meresapi (memahami) agama.”

Sehingga, orang yang hilang akalnya, atau akalnya belum sempurna (belum aqil), atau tidak sempurna, maka tidak akan pernah terkena perintah agama. Sebagaimana bayi, orang gila, orang pingsan, orang koma, dan semacamnya. Mereka terlepas dari kewajiban dan tanggung jawab, terlepas dari sangsi pahala dan dosa, bahkan mereka tidak boleh mengadakan ‘aqad atau ijab kabul. Sebab, Islam hanyalah agama bagi orang-orang yang berakal saja.

Di samping itu, al-Qur’an dengan keras mengecam orang-orang yang telah akil baliqh, akan tetapi tidak mau menggunakan akalnya, bahkan mereka di ibaratkan seperti binatang yang melata. Dan lebih buruk lagi, orang yang sudah akil baliqh, sudah tidak mau menggunakan akalnya, la kok malah mendahulukan emosinya. Jadi, manusia berakal yang tidak mau menggunakan akalnya, di ibaratkan seperti bayi, orang pingsan atau orang gila, bahkan lebih jelek dari binatang. Karena, seharusnya ia menggunakan akalnya, lha kok malah mendahulukan hawa nafsunya.

Nah, di sinilah letak pentingnya akal. Kemampuan akal inilah yang dapat membedakan antara seorang yang sudah baliqh dengan bayi, orang gila dan binatang. Hanya dengan kemampuan akal-lah sehingga manusia dapat memahami al-Qur’an dan memahami Islam.

Allah Swt. berfirman:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لاَ يَعْقِلُونَ ()

“Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah ialah: orang-orang yang bisu (pekak), tuli (tidak mau mendengar, menuturkan dan memahami kebenaran) dan tidak mengerti apapun.” 5

Juga firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَعْقِلُونَ ()

“Dan tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah akan menimpakan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya.” 6

Saudaraku, betapa jelasnya hal ini bagi kita, sejelas pemahaman kita tentang mustahilnya bayi, orang gila dan binatang untuk dapat memahami al-Qur’an. Dan kini semakin jelas pula, bahwa aqli dan naqli adalah memang tidak mungkin dapat dipisahkan. Meskipun harus kita lihat, akal yang mana dan akal siapa yang bisa disebut sebagai Dalil itu.




46 QS. An-Naba’ : 40.
47 QS. Al-A’raf : 38-39.
5 QS. Al-Anfal : 22.
6 QS. Yunus :  100.