Jumat, 06 Mei 2016

Unknown

BSM | Makalah Ketujuh

Membedah Shirathal Mustaqiem 1

SANG PENAFSIR AL-QUR’AN

 Saudaraku.

Sebelum kita meneliti dan memahami al-Qur’an dan al-Hadits, demi untuk segera menemukan orang-orang yang ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai penafsir dan penjabar al-Qur’an setelah Rasulullah Saw. wafat, lebih dahulu marilah kita memantapkan keyakinan kita kepada Allah Swt.. Artinya, kita harus meyakini dengan sepenuh hati, bahwa Allah Swt. itu memang Maha Benar, Maha Suci, Maha Sempurna, Sumber kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak pernah melakukan kesalahan walau sedikitpun juga.

Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh-Nya:
اَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ ()

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” 13

Setelah kita meyakini dengan mantap, bahwa Allah Swt. itu Maha Benar, tentunya kita pun harus meyakini pula, bahwa firman-firman Allah Swt., yakni al-Qur’an, adalah juga pastilah benar adanya. Karena, ia keluar dari Dzat yang Maha benar.

Kemudian, al-Qur’an yang benar ini akan diwahyukan kepada seorang manusia pilihan, agar supaya diterangkan kepada seluruh umat manusia, agar menjadi pedoman hidup mereka, sehingga mereka dapat mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Seorang manusia pilihan yang mendapat wahyu al-Qur‘an tersebut adalah Nabi kita Muhammad Saw.

Namun, sebelum Allah Swt. mewahyukan al-Qur‘an tersebut kepada beliau, Dia terlebih dahulu pasti telah mempersiapkan manusia penerima wahyu ini dengan sebaik-baiknya, artinya pasti disucikan terlebih dahulu dari segala sifat kebohongan atau dari sifat-sifat yang mana nantinya bisa menyebabkan tidak sucinya wahyu tersebut.

Sebagai suatu perbandingan begini: Al-Qur‘an yang suci itu diibaratkan sebagai air yang suci dan steril. Sedang Nabi Muhammad Saw., sebagai orang yang akan menerima wahyu tersebut, diibaratkan sebagai wadah yang akan menampung air yang suci dan steril itu. Nah, untuk menjaga agar air yang suci dan steril itu tidak tercemari oleh kotoran yang akan menyebabkan tidak sucinya air tersebut, tentunya, sebelum di isi air yang suci dan steril itu, wadahnya harus di sucikan terlebih dahulu. Sebab, jika tidak, maka kesucian air itu tidak dapat dijamin. Sebab ia akan tercemari oleh wadah atau tempat yang tidak suci itu. Dan seandainya terjadi hal yang demikian, yakni tercemarnya air karena wadahnya, maka yang layak untuk dipersalahkan adalah pasti bukan airnya dan bukan pula wadahnya, karena, baik air maupun wadahnya hanyalah bersifat sebagai yang dituang dan yang menerima tuangan, karenanya, yang layak untuk dipersalahkan adalah pasti yang menuangkannya.

Air yang suci, atau air yang bersih yang tidak mengandung penyakit, di dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “air steril”. Dengan demikian, berarti air yang steril adalah air yang tidak mengandung bakteri sama sekali. Nah, jika air yang steril itu kok ditaruh di tempat yang tidak steril, atau dimasukkan ke gelas yang tidak steril, maka jelas, bahwa air tersebut akan berubah menjadi air yang tidak steril lagi, atau telah menjadi tercemar (terkontaminasi). Apa penyebabnya?. Jelas dari wadahnya bukan?.

Seandainya ada gelas empat, yang steril satu, dan yang nggak steril ada tiga. Sang tuan rumah tahu, kalau gelas yang tiga itu memang nggak steril, namun oleh dia tetap dijadikan sebagai wadah untuk menaruh air yang steril itu, sehingga air tersebut berubah menjadi tidak steril lagi (terkontaminasi). Kemudian, air itu disuguhkan kepada para tamu, dan ia menyuruh mereka untuk meminumnya. Karena airnya terkontaminasi, maka tamu tersebut jatuh pingsan dan mati, gara-gara terkena racun akibat dari minum air tadi. Nah, kira-kira, siapa yang harus bertanggung jawab atas perbuatan ceroboh dan berbahaya ini?. Apakah para tamu yang meminumnya?, apakah gelasnya?, apakah si tuan rumah sendiri?. Jelaslah, bahwa sang tuan rumahlah yang harus bertanggung jawab!. Sebab, baik air maupun gelasnya jelas tidak dapat menolaknya. Sedangkan para tamu yang meminumnya juga jelas tidak mengetahuinya.

Atas kejadian tersebut, maka sang tuan rumah pasti akan disebut sebagai orang yang tidak berakal, ceroboh, bahkan tolol dan goblok; sebab, di samping ia sudah tahu bahwa gelas-gelas tersebut memang tidak steril, bahkan ia juga tahu bahwa air tersebut akan menyebabkan kematian. Orang yang biasa saja, tidak mungkin melakukan hal seperti itu.

Dengan ibarat ini, mungkinkah Allah Swt. yang Maha Suci, Yang tidak mungkin berbuat salah atau keliru, la kok menurunkan wahyu-Nya kepada utusan-Nya yang bisa saja berbuat salah atau keliru?. Mungkinkah Ia menuangkan wahyu-Nya ke wadah yang tidak suci?. Mustahil bukan!?.

Iya, Allah Swt. pasti telah mensucikan beliau terlebih dahulu sebelum diangkat menjadi Rasul-Nya, atau pasti telah disterilkan dulu. Setelah sudah steril, seperti yang tadi kita fahami, hingga mendapat gelar al-Amin, maka barulah beliau menerima wahyu dan menjadi utusan-Nya. Sehingga, wahyu yang steril, diturunkan kepada beliau yang sudah dalam keadaan steril, maka ke-sterilan wahyu yang ada pada beliau pasti terjamin.

Di samping itu, kita juga memahami, bahwa sifat wajib bagi Rasul itu ada 4 (empat), yaitu: Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.
Kemudian, di dalam banyak qasidah, kita juga menemukan bait-bait yang berbunyi:

مُحَمَّدٌ بَشَرٌ لاَ كَالْبَشَرِ * بَلْ هُوَ كَالْيَقُوْتِ بَيْنَ الْحَجَرِ .

- “Muhammad itu adalah manusia, tapi bukan seperti manusia;
- Bahkan ia seperti batu mutiara di antara batu biasa!.”

Jadi, Nabi itu memang manusia, tapi ia tidak lumrah seperti manusia. Ibaratnya, seperti batu mutiara dengan batu biasa. Batu biasa itu kita, sedang batu mutiara adalah Nabi. Untuk kita batu biasa, untuk Nabi batu mutiara. Memang, keduanya sama-sama batunya, tapi tetap saja berbeda, sebab batunya memang berbeda. Nabi adalah manusia yang suci, sedangkan kita tidak. Sehingga  nilainya tentu berbeda.

Jadi sekali lagi, mustahil Allah Swt. Yang Maha Suci dan Maha Benar kok sampai salah dalam meletakkan wahyu-Nya yang suci kepada wadah yang tidak suci. Sebagaimana Dia berfirman:

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى () مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى () وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى () إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى ()

“Demi bintang ketika terbenam. Tidaklah sekali-kali kawanmu (Muhammad), itu sesat dan tidak pula keliru. Dan tidaklah dia berbicara menurut hawa nafsunya. Melainkan wahyu yang telah diwahyukan kepadanya”. 14

Ayat di atas mengandung sebuah pengertian yang sangat jelas, bahwa Allah Swt. memulai firman-Nya dengan kata-kata sumpah, yaitu: “Demi bintang ketika terbenam.” Berarti hal ini menunjukkan ketidak sembarangan-Nya.

Setelah terbenamnya bintang, biasanya muncul matahari. Nah, di sini berarti Allah Swt. akan menunjukkan kepada seluruh hamba-Nya, bahwa apa yang akan Dia katakan ini, adalah sesuatu yang sangat jelas, terang, gamblang, benar-benar tidak mengandung kesalahan sedikitpun juga, sebagaimana jelas dan terangnya matahari yang menyinari bumi. Yaitu, tentang jaminan Allah Swt. terhadap Nabi kita Muhammad Saw., artinya bahwa beliau itu adalah manusia yang suci, benar, dan bebas dari kesalahan, kekeliruan dan kesesatan. Bebas dari kepentingan hawa nafsunya.

Di samping penjelasan di atas, kitapun juga meyakini, bahwa Nabi Muhammad Saw. itu adalah manusia yang maksum, artinya: “Terjaga dari dosa dan kesalahan”.

Baik, jika kita telah memahami persoalan di atas, maka marilah sekarang, kita mencari dan meneliti:

- Apakah masih ada manusia-manusia yang dijamin kesucian dan kebenarannya oleh Allah Swt. selain Rasulullah Saw. itu?.
- Jika ada, siapakah mereka itu?.
- Bagaimana jika tidak ada?, apakah al-Qur’an yang kita terima ini dapat dijamin kebenarannya?.

Iya, marilah kita mulai pencarian dan penelitian kita ini dengan penuh hati-hati dan penuh rendah hati, melepaskan diri dari rasa benar sendiri, serta berdo‘a kepada Allah Swt., agar kita diberi taufiq dan hidayah, sehingga kita segera dapat menemukan jalan yang lurus dan benar serta diridhai oleh-Nya. Amien.

Nabi Muhammad Saw. adalah Nabi dan Rasul yang terakhir, tidak ada Nabi lagi sesudah beliau. Dan kenabian beliau itu memanjang terus hingga akhir dari dunia ini. Di samping itu, agama Islam yang beliau bawa, pasti tidak hanya untuk orang-orang Arab saja, melainkan buat manusia seluruh dunia dan juga hingga akhir zaman tiba. Begitu pula dengan kitab suci al-Qur‘an, ia adalah merupakan kitab pedoman hidup bagi manusia seluruhnya hingga akhir zaman juga. Jika demikian, mestinya Allah Swt. memanjangkan usia beliau hingga hari kiamat tiba, agar beliau dapat menunaikan tugasnya, yakni menyebarkan ajaran agama-Nya hingga ke seluruh dunia dan sampai hari kiamat tiba.

Namun, pada kenyataannya, usia beliau Saw. tidak sampai hingga akhir zaman tiba, sehingga kita sendiri tidak dapat langsung menerima ajaran Islam ini dari beliau Saw. itu.

Nah, kemudian, kepada siapakah umat Islam sepeninggal beliau ini, jika ingin mendapatkan bimbingan dalam memahami isi dan kandungan al-Qur‘an sebagai pedoman hidup mereka?. Padahal, pada uraian sebelumnya telah kita fahami, bahwa al-Qur‘an yang suci tidak akan suci lagi bila wadah penampungnya tidaklah suci.

Apabila manusia yang mendapat jaminan kesucian dan kebenaran dari Allah Swt. itu hanya Nabi Saw. saja, berarti ajaran Islam yang sampai kepada kita ini sulit untuk dijamin kebenarannya, karena tidak adanya jaminan bahwa pembawa Islam yang sampai kepada kita ini jujur, tidak pernah bohong, tidak pernah salah, dan semacamnya.

Oleh karena itu, secara akal yang waras, seharusnya Allah Swt. mempersiapkan orang-orang yang suci dan benar selain Nabi Saw., dan harus ada pada setiap zaman hingga hari kiamat tiba. Walaupun mereka tidak jadi Nabi. Sebab, pintu kenabian telah tertutup rapat.

Lha, kemudian untuk apa orang-orang yang suci dan benar selain Nabi Saw. tersebut?. Jawabnya: “Sebagai tongkat estafet”, yang memikul tugas berat beliau. Yaitu, sebagai penunjuk jalan, penerang ajaran Islam, penjabar al-Qur’an, dan sekaligus sebagai penjaga kesuciannya. Sebab, Nabi Saw. boleh saja meninggal, karena bagaimanapun beliau adalah seorang manusia juga yang pasti pula mengalami kematian. Namun risalahnya tidak boleh mati dengan kematian sang pembawanya. Sebab, telah dinyatakan oleh sang pemiliknya, yakni Allah Swt., bahwa Islam adalah merupakan agama bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman tiba. Nah, orang-orang suci itulah yang memiliki otoritas sebagai pelanjut risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. itu hingga datangnya hari kiamat nanti. Mereka saling menggantikan, saling mendukung, saling membenarkan antara satu dengan yang lainnya. Yang sebelumnya pasti telah mengabarkan kepada yang sesudahnya, begitu seterusnya.
Di samping itu, al-Qur‘an adalah merupakan sebuah kitab suci untuk mengatur dunia beserta isinya ini hingga akhir zaman juga, dan yang mana pada saat beliau Saw. wafat, masih banyak rahasia-rahasia al-Qur‘an yang belum terungkap. Karena itulah, maka sangat diperlukan adanya orang-orang yang suci dan benar agar mereka menjelaskan dan menjabarkan rahasia-rahasianya.

Bukankah Allah Swt. sendiri telah menyatakan dalam firman-Nya:

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ ()

“Tidak akan dapat memahami isi dan kandungan al-Qur’an kecuali orang-orang yang disucikan.” 15

Jika manusia sepeninggal Rasulullah Saw. itu tidak ada yang suci, lalu siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan pada ayat tersebut?.

Kemudian, Allah Swt. juga telah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ ()

“Sesungguhnya, Kamilah (Allah) yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memelihara (menjaga) nya.” 16

Kedua ayat tersebut dengan jelas menunjukkan kepada kita, bahwa ada manusia-manusia suci dan benar yang disucikan oleh Allah Swt. selain Nabi Saw.. Yang mana tugas mereka adalah sebagai penafsir dan Penjabar isi dan kandungan al-Qur’an, dan sekaligus sebagai Penjaga kesuciannya dari tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Sebab, jangan sampai kitab suci al-Qur’an ini mengalami nasib yang sama seperti nasibnya Kitab-kitab suci sebelumnya.

Baiklah, mari kita mulai penggalian dan penelitian kita ini dari ayat-ayat suci al-Qur’an terlebih dahulu, sebab, ternyata orang-orang yang dijamin benar dan suci selain Rasulullah Saw. itu, telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam al-Qur‘an yang jumlahnya tidak sedikit. Namun, kadang-kadang kita kurang memperhatikannya.

Coba perhatikan!.

1. Firman Allah Swt. yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصَّـادِقِيْنَ ()

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” 17

Ayat ini dengan jelas menunjukkan kepada kita, bahwa ada orang-orang yang dijamin benar itu, dan kita disuruh untuk mengikutinya. Dan pasti bukan hanya satu, sebab lafadz Ash-Shaadiqiin itu menunjukkan arti banyak. Nah, siapakah mereka itu?. Ikuti ayat selanjutnya.

2. Firman Allah Swt. yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ أُولِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ ()

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu.” 18

Ayat ini juga dengan jelas menunjukkan kepada kita, bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, termasuk kita, agar mentaati Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri-Nya.

Di depan telah kita fahami, bahwa Allah Swt. adalah Dzat yang Maha suci dan Maha benar, karenanya tidak mungkin berbuat salah. Jika Allah Swt. yang Maha suci dan Maha Benar itu memerintahkan kepada kita agar mentaati Rasul-Nya, maka tentunya Rasul-Nya-pun harus suci dan benar, sebab, konsekwensinya, jika Rasul-Nya tidak suci dan tidak benar, maka berarti Allah juga tidak suci dan tidak benar, karena memerintahkan kita untuk mentaati Rasul yang tidak suci dan tidak benar; kemudian, di samping Rasul-Nya yang harus ditaati, Dia juga memerintahkan kepada kita untuk mentaati Ulil Amri-Nya, berarti, Ulil Amri di sini pasti orang yang suci dan benar pula. Sebab, konsekwensinya, bila Ulil Amri-Nya kok tidak dijamin kesucian dan kebenarannya, maka berarti Allah juga tidak suci dan tidak benar, karena memerintahkan kepada kita untuk mentaati Ulil Amri-Nya yang tidak suci dan tidak benar. Mustahil bukan, Allah kok salah dalam memilih Ulil Amri-Nya?. Kami yakin, karena ini firman Allah Swt. yang tidak mengandung kebathilan, maka pasti Dia telah menjamin akan kesucian Ulil Amri-Nya tersebut. Nah, siapakah Ulil Amri yang dimaksud?. Ikuti ayat-ayat selanjutnya.

3. Firman Allah Swt. yang berbunyi:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْـلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا ()

“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah, dan janganlah kamu sekalian bercerai berai.” 19

Ayat ini mengandung pengertian, jika kita semua mau berpegang teguh dengan tali Allah, maka pasti tidak akan bercerai-berai. Sebaliknya, bila tidak, maka pasti bercerai-berai.

Umat Islam sekarang ini, kenapa mereka jadi bergolong-golongan, bermadzhab-madzhab dan beraliran-aliran, pasti mereka tidak berpegang teguh dengan tali Allah tersebut. Nah, apa dan siapakah yang dimaksud dengan tali Allah pada ayat tersebut?. Ikuti ayat selanjutnya.

4. Firman Allah Swt. yang berbunyi:

فَسْئَلُوْا أَهْـلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ ()

“Maka bertanyalah kalian semua kepada Ahli Dzikir, jika kamu sekalian tidak mengetahui.” 20

Ayat di atas mengandung pengertian, apabila kita ingin memahami al-Qur’an, atau bertanya tentang soal-soal agama, soal-soal hidup dan kehidupan yang belum kita ketahui dan pahami, maka Allah Swt. telah memerintahkan kepada kita agar bertanya kepada “Ahli dzikir-Nya”. Dengan demikian, berarti Dia telah menyiapkan orang-orang yang mampu menjelaskan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh umat Islam sendiri, yaitu: “Ahli Dzikir” tersebut. Dan Ahli Dzikir di sini, pasti orang yang dijamin kesucian dan kebenarannya. Artinya tidak mungkin salah dalam menjawab dan menjelaskannya, sebab, bila salah, maka berarti Allah juga salah, sebab, Dia memerintahkan kepada kita untuk bertanya kepada orang yang bisa salah. Mustahil bukan?, Allah kok bisa salah dalam memilihnya?.

Sebuah ungkapan mengatakan:
إِذَا وُسِدَ اْلأَمْرُ إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَأنْتَظِرِ السَّـاعَةَ .

“Apabila suatu urusan kok diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”

Nah, mungkinkah Allah Swt. menyerahkan urusan agama-Nya kepada orang yang bukan ahlinya?. Pasti tidak mungkin!. Dengan demikian, berarti ada orang-orang yang disebut sebagai “Ahli Dzikir” itu. Siapakah yang dimaksud dengan “Ahli Dzikir” tersebut?. Ikuti ayat selanjutnya.

5. Firman Allah Swt. yang berbunyi:

إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ ؛ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هـَادٍ ()

“Sesungguhnya kamu (Muhammad), hanyalah orang yang memberi peringatan, dan bagi tiap-tiap kaum, ada orang yang memberi petunjuk.” 21

Ayat di atas mengandung pengertian, bahwa Allah Swt. itu telah memberikan seorang pemberi petunjuk bagi tiap-tiap kaum. Dan orang tersebut pasti juga dijamin kesucian dan kebenarannya, sebab, seorang pemberi petunjuk, bila sampai salah dalam memberikan petunjuk, maka yang menugaskan kepadanya juga salah, karena sudah jelas orang yang bisa salah kok dijadikan sebagai pemberi petunjuk. Anda tentunya tahu bukan?, siapakah yang menugaskannya?, yang menugaskan adalah Allah Swt.. Dan kita semua yakin, bahwa mustahil Allah Swt. kok sampai salah dalam memilih orang yang dijadikan sebagai pemberi petunjuk. Nah, siapakah yang dimaksud dengan “seorang pemberi petunjuk” pada ayat tersebut?. Ikuti ayat selanjutnya.

6. Firman Allah Swt. yang berbunyi:

أِنَّا أَرْسَلْناَكَ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا؛ وَاِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلاَّ خَلاَ فِيْهَا نَذِيْرٌ ()

“Sesungguhnya Kami (Allah), mengutus kamu dengan membawa kebenaran, sebagai berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; Dan tidak ada suatu umat-pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” 22

Ayat di atas juga mengandung pengertian, bahwa Allah Swt. itu tidak akan membiarkan satu umat-pun kok tanpa seorang pemberi peringatan. Dan seorang pemberi peringatan di sini, pasti juga dijamin kesucian dan kebenarannya, sebab bila tidak, maka berarti bisa berbuat salah, dan bila bisa berbuat salah, maka salah juga yang menjadikan ia sebagai pemberi peringatan. Padahal, mustahil Allah Swt. kok bisa salah dalam memilihnya?. Di samping itu, bila umat ini kok tanpa ada seorangpun yang jadi pemberi peringatan, maka bila terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh mereka, maka secara akal yang waras, Allah Swt. tidak boleh menghukum mereka. Karena, hal itu bertentangan dengan keadilan-Nya. Di samping itu, Ia pasti akan disebut sebagai dzalim dan tidak adil, karena menghukum orang yang tidak tahu. Mustahil bukan, Allah Swt. kok tidak adil?. Nah, siapakah yang dimaksud dengan seorang pemberi peringatan pada ayat tersebut?. Ikuti ayat selanjutnya.

7. Firman Allah Swt. yang berbunyi:

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ () صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ؛ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ()

“Ya Allah!, tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka; dan bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai; dan bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat.” 23

Ayat di atas mengandung pengertian yang amat jelas, bahwa kita diajarkan untuk mohon kepada-Nya, agar ditunjukkan jalan yang lurus. Berarti, ada jalan yang lurus itu. Dan Dia telah menjelaskan pada ayat tersebut, bahwa jalan yang lurus itu ialah “Jalannya orang-orang yang telah diberi nikmat oleh-Nya, yang tidak dimurkai dan tidak pula sesat”. Nah, siapakah mereka itu?.

Saudaraku, sebenarnya masih banyak ayat-ayat yang seperti itu. Namun, kami rasa cukuplah ini saja, agar tidak terlalu bertele-tele. Dan kami sangat yakin kepada anda, bahwa anda pasti ingin segera menemukan jalan yang sungguh-sung guh benar dan lurus itu.

Baiklah, mari kita lanjutkan. Jika kita mengamati ayat-ayat tersebut di atas, maka kita dapat mengambil satu kesimpulan, bahwa Allah Swt. telah menyebutkan di dalam kitab suci-Nya (al-Qur’an) tentang sifat-sifat dari manusia-manusia suci yang seharusnya memimpin dan membimbing umat ini setelah wafat nabi-Nya. Sifat-sifat tersebut adalah:

- Ash-Shaadiqiin (Orang-orang yang benar).
- ‘Ulil Amri (Para pemimpin).
- Hablullah (Tali Allah).
- Ahli Dzikir  (Orang-orang yang ahli).
- Haadin (Pemberi petunjuk).
- Nadziir (Pemberi peringatan).
- Al-Mustaqiim (Orang-orang yang lurus).

Nah, siapakah mereka itu?. Iya, tentunya anda telah memahami dan meyakini, bahwa tujuh istilah di atas, adalah menunjukkan adanya orang-orang yang benar, lurus dan dapat dijamin kesucian dan kebenarannya, dan tidak akan berbuat salah walau sedikitpun (maksum).
Di samping itu, tentunya anda juga telah mengetahui, bahwa kesucian Rasulullah Saw. itu telah ditentukan oleh Allah Swt. sendiri. Maka dari itu, orang-orang yang disifati dengan ketujuh sifat di atas, mestinya juga harus ditentukan oleh Allah Swt. sendiri siapa orangnya?. Karena, yang dapat menilai dan menjamin suci, benar dan tidaknya seseorang adalah hanya Dzat yang Maha Suci itu sendiri, yaitu Allah Swt.. Sedang penilaian atau jaminan dari manusia biasa seperti kita adalah belum tentu benar. Karena, manusia yang menilainya sendiri adalah bersifat relatif (belum tentu benar).

Iya, mungkin anda belum pernah menemukan ayat yang menunjukkan adanya manusia-manusia yang dijamin suci dan benar oleh Allah Swt., yang tidak akan berbuat dosa, salah, keliru dan semacamnya, serta disucikan oleh-Nya sesuci-sucinya. Mereka itu adalah: “AHLUL BAIT”. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Allah Swt. sendiri dalam firman-Nya yang berbunyi:

إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَ كُمْ تَطْهِـيْرًا ()

“Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kamu “hai Ahlul Bait”, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” 24

Dengan demikian, maka menjadi jelaslah, bahwa manusia-manusia yang telah dihilangkan dosanya dan disucikan oleh Allah Swt. sesuci-sucinya, serta dijamin tidak akan berbuat salah walau sedikitpun juga adalah: “AHLUL BAIT”.
Selanjutnya, sekarang kita tinggal berfikir, siapakah “Ahlul Bait” itu?.



13 QS. Al-Baqarah : 147.
14 QS. An-Najm : 1-4.
15 QS. Al-Waqiah : 79.
16 QS. Al-Hijir : 9.
17 QS. At-Taubah : 119.
18 QS. An-Nisa‘ : 59.
19 QS. Al-Imran : 103.
20 QS. An-Nahl : 43.
21 QS. Ar-Ra‘du  7.
22 QS. Al-Fathir : 24.
23 QS. Al-Fatihah : 6-7.
24 QS. Al-Ahzab : 33.