
Kedua Terhadap Para Isteri
Pengertian ahlul bait juga tidak dapat diartikan untuk para isteri Nabi Saw., karena juga bertentangan dengan kenyataan apa yang telah dilakukan oleh mereka. Sebagaimana apa yang telah difirmankan oleh Allah Swt. di dalam al-Qur’an dan juga telah disabdakan oleh Nabi Saw. di dalam banyak haditsnya. Di mana kelakuan-kelakuan mereka itu banyak yang tidak mencerminkan sifat kebenaran dan kesuciannya.
Jelasnya begini, bila para isteri Nabi itu termasuk dari ahlul bait yang disucikan oleh Allah Swt. sesuci-sucinya, maka mestinya mereka tidak akan berbuat kesalahan. Namun kenyataannya, mereka itu banyak melakukan kesalahan, bahkan sering menyakiti Nabi Saw., sehingga Allah Swt. menurunkan firman-Nya agar beliau menceraikan saja mereka.
Di samping itu, sebenarnya, jika anda punya pengetahuan tentang Ilmu Nahwu dan Sharaf (ilmu tata bahasa arab) sedikit saja, maka anda akan dapat langsung menolak anggapan yang mengatakan, bahwa lafadz ahlul bait pada surat al-Ahzab ayat 33 tersebut diperuntukkan bagi para isteri Nabi Saw., walaupun dengan alasan, bahwa ayat tersebut dimulai dengan panggilan: “Wahai isteri-isteri Nabi, ............ dan seterusnya. Karena, dlamir (kata ganti nama) pada ayat tersebut, jelas menggunakan dlamirMudzakkar (untuk laki-laki), bukan dhamir Muannats (untuk wanita). Coba kita perhatikan ayatnya:
إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ اْلبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا ()
Pada ayat tersebut, memakai lafadz عَنْكُمْ dan lafadzوَيُطَهِّرَكُمْ bukan lafadz عَنْكُنَّ dan lafadz وَيُطَهِّـرَكُنَّ . Bila ayat tersebut dimaksudkan untuk para isteri Nabi, mestinya berbunyi:
إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُنَّ الرِّجْسَ أَهْلَ اْلبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُنَّ تَطْهِيْرًا .
Namun kenyataannya, seluruh kitab Suci al-Qur’an, di manapun adanya, cetakan keberapapun , yang dikeluarkan oleh negara manapun, dan oleh bangsa apapun, tetap dari dulu hingga sekarang berbunyi:
إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ اْلبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا ()
Baiklah saudaraku, mari sekarang kita buktikan kelakuan para isteri beliau Saw. itu. Baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Hadits.
A. Di Dalam Al-Qur’an.
1. Firman Allah Swt.:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَـاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١) قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاَكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (٢) وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ (٣) إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاَهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلاَئِكَةُ بَعْدَ ذَالِكَ ظَهِيرٌ (٤) عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (٥) .
“Hai Nabi!, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah telah menghalalkannya bagimu, kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
“Sesungguhnya Allah Swt. telah mewajibkanmu untuk membebaskan diri dari sumpahmu. Dan Allah adalah pelindungmu. Dan Dia Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”
“Dan Ingatlah!. Ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceriterakan peristiwa itu (kepada ‘Aisyah), dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsah dan ‘Aisyah) kepada Muhammad, lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan ‘Aisyah), lalu Hafsah bertanya: “Siapa yang memberitahukan hal ini kepadamu?.” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mendengar.”
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu cenderung untuk melakukan hal itu. Dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya. Dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang yang beriman, dan selain itu, Malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”
“Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya, dengan isteri-isteri yang lebih baik dari kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” 62
Juga Firman-Nya:
يَا نِسَاءَ النَّبِيُّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا اْلعَذَابُ ضِعْفَيْنِ وَكَانَ ذَالِكَ عَلَى اللهِ يَسِـيْرًا ()
“Hai isteri-isteri Nabi!, Siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan yang keji, yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepadanya dua kali lipat, dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.” 63
Iya, firman-firman Allah Swt. tersebut, jelas menerangkan dan menunjukkan kepada kita, bahwa para isteri Nabi itu tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok ahlul bait, karena ahlul bait adalah manusia yang disucikan oleh Allah sesuci-sucinya, sedangkan para isteri Nabi pernah melakukan kesalahan, yang mana menyebabkan Allah Swt. sendiri mengizinkan kepada beliau untuk menceraikan mereka, dan akan menggantinya dengan isteri yang lebih baik dari pada mereka. Bahkan Allah Swt. mengancam mereka dengan siksa dua kali lipat besarnya, jika mereka berbuat dosa.
Peristiwa sebab-sebab turunnya ayat ini, diceriterakan dengan sangat jelasnya oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya, Baik kitab yang berbahasa arab maupun terjemahannya. Sebagaimana berikut ini:
1. Terjemahan shahih Muslim jilid 3 hal. 100 hadits ke 1423 dengan judul peristiwa madu.
Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata:
“Rasulullah Saw. itu suka makan manis-manisan. Bila beliau selesai shalat ‘Asar, biasanya beliau berkeliling kerumah isteri-isteri beliau dan mampir sebentar. Pada suatu kali, beliau mampir di rumah Hafshah, tetapi beliau agak lebih lama tinggal di situ daripada biasanya. Lalu kutanyakan kepada beliau, kenapa begitu?. Jawab beliau: “Hafshah diberi oleh seorang wanita familinya semangkok madu, lalu aku disuguhinya seteguk.”
Kata ‘Aisyah: “Kami akan memperdayakan beliau. Lalu kuceritakan hal itu kepada Saudah, dan kukatakan kepadanya, nanti bila Rasulullah datang kerumahmu, maka ketika beliau mendekatimu, katakanlah kepada beliau: Ya Rasulullah!, “Apakah anda baru habis minum Maghafir?.” Tentu beliau akan menjawab: “Tidak!.” Lalu tanyakan lagi. “Ini bau apa?.” Rasulullah sangat benci kalau dia tercium bau minuman terlarang. Nanti beliau akan mengatakan kepadamu: “Aku disuguhi Hafshah madu seteguk.” Lalu jawablah: “Barangkali lebahnya makan bunga ‘Urfuth.”
Kata ‘Aisyah: “Aku akan mengatakannya begitu kepada beliau.” Maka katakan pulalah begitu wahai Saudah!, dan nanti kau suruh pula Shafiyyah mengatakannya begitu!.
Maka tatkala Rasulullah datang ke rumah Saudah, hampir saja dia mengatakannya begitu ketika beliau masih berada di ambang pintu, karena takutnya kepada ‘Aisyah. Setelah beliau mendekatinya, barulah Saudah berujar: “Ya Rasulullah!. Apakah anda baru habis minum Maghafir?.” Jawab Nabi Saw.: “Tidak!.” Tanya Saudah: “Mulut anda bau apa ini?.” Jawab beliau: “Hafshah menyuguhiku madu seteguk.” Kata Saudah: “Kalau begitu, mungkin lebahnya makan bunga ‘Urfuth.”
Kata ‘Aisyah: “Ketika beliau datang kerumahku, aku mengatakannya pula kepada beliau seperti itu.” Ketika beliau datang ke rumah Shafiyyah, lalu Shafiyyah mengatakannya pula begitu. Maka tatkala beliau datang ke rumah Hafshah, dia bertanya: “Apakah anda mau minum madu Ya Rasulullah?.” Jawab beliau: “Aku tidak membutuhkannya!.”
Kata ‘Aisyah selanjutnya: “Kemudian Saudah mengatakan: Subhaanallaah!; Akibatnya Allah benar-benar mengharamkan bagi kita (gara-gara perbuatan kita). Lalu kujawab: “Tenanglah Saudah!.”
2. Terjemahan Shahih Muslim juz 3 hal. 102 dengan judul Talak tanpa niat, hadits ke 1424.
Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata:
“Tatkala Rasulullah Saw. diperintahkan oleh Al- lah supaya menyuruh para isterinya memilih cerai atau tetap, beliau memulai denganku. Sabda beliau: “Aku hendak memberitahukan kepadamu sesuatu yang penting. Karena itu, janganlah engkau terburu-buru menjawabnya, sebelum engkau musyawarahkan dulu dengan kedua orang tuamu.”
Kata ‘Aisyah: “Beliau tahu benar, bahwa kedua orang tuaku tidak akan mengizinkan bercerai dengan beliau.” Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla telah berfirman: “Hai Nabi!. Katakanlah kepada para Isterimu. Jika engkau menghendaki kehidupan dunia beserta perhiasannya, marilah kuberikan kepadamu suatu pemberian, kemudian kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kampung akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat kebajikan di antara kamu.” 64
Kata ‘Aisyah: “Apa pula yang harus kumusyawarahkan dengan kedua orang tuaku?, sudah tentu aku memilih Allah dan Rasul-Nya serta kampung akhirat.” Kemudian kata ‘Aisyah melanjutkan ceritanya: “Ternyata para isteri Rasulullah semua berbuat seperti yang kulakukan.”
3. Terjemahan Shahih Muslim Jilid 3 hal. 102 hadits ke 1425.
Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata: “Kami para isteri Rasulullah Saw. pernah diberi pilihan oleh beliau. Bercerai atau tetap bersama beliau. Kami semua memilih tetap bersama beliau. Maka hal itu tidak dihitung talak.”
4. Terjemahan Shahih Muslim jilid 3 hadits ke-1426 pada bab yang sama.
Dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata:
“Pada suatu ketika Abu Bakar minta ijin hendak masuk kerumah Rasulullah Saw.. Didapatinya, di depan pintu telah banyak orang duduk. Tetapi tidak seorang juapun yang diijinkan beliau masuk kecuali bagi Abu Bakar dan Umar.
Didapatinya, Nabi Saw. sedang duduk dikelilingi para isteri, beliau dalam keadaan diam karena marah. Kata Abu Bakar: “Aku sengaja mengatakan sesuatu untuk memancing ketawa beliau. Kataku: “Ya Rasulullah!. Bagaimana pendapat anda?, isteriku binti Kharijah minta belanja kepadaku, lalu kutampar dia. Rasulullah mendengarnya dan berkata: “Inilah mereka mengelilingiku minta uang belanja.”
Maka berdirilah Abu Bakar mendatangi ‘Aisyah , lalu dipukul kuduk ‘Aisyah. Begitu pula Umar, dia berdiri lalu dipukul pula kuduk Hafshah, sambil kedua-duanya berkata: “Berani-beraninya kamu meminta sesuatu yang tidak dipunyai oleh Rasulullah!.” Jawab mereka: “Demi Allah!. Kami tidak pernah meminta kepada Rasulullah Saw. apa yang tidak ada pada beliau.”
Sesudah kejadian itu, Rasulullah mengasingkan diri dari para isteri beliau sebulan lamanya. Sesudah itu, turunlah ayat 28-29 surat al-Ahzab: “Wahai Nabi!. Katakanlah kepada para Isterimu,......... dan seterusnya.”
Kata Jabir, Rasulullah Saw. memulai pertanyaannya dengan ‘Aisyah. Sabda beliau: “Aku hendak mengatakan sesuatu yang penting kepadamu. Karena itu, aku lebih suka engkau jangan terburu-buru menjawabnya sebelum engkau musyawarahkan dengan kedua orang tuamu.” Tanya ‘Aisyah: “Masalah apa itu Ya Rasulullah?.” Lalu beliau bacakan ayat tersebut di atas. Tanya ‘Aisyah: “Apakah mengenai masalah rumah tangga anda, aku harus musyawarah juga dengan kedua orang tuaku?. Sudah tentu aku memilih Allah dan Rasul-Nya serta hari akhirat. Kumohon kepada anda supaya tidak mengabarkan keputusanku ini, kepada para isteri anda yang lain.” Jawab beliau: “Tidak satupun yang di tanyakan mereka kepadaku, yang tidak kujawab. Sesungguhnya Allah mengutusku bukanlah untuk mencari-cari kesulitan. Tetapi Allah mengutusku untuk mengajar dan memudahkan.”
5. Terjemahan Shahih Muslim jilid 3 hal. 105 hadits ke 1427, dengan bab dan judul yang sama.
Dari Umar bin Khaththab r.a. ia berkata:
“Ketika Nabi Saw. mengasingkan diri dari para isteri beliau, aku masuk ke masjid, dan kulihat orang sedang memainkan kerikil. Mereka semua sama berkata: “Rasulullah Saw. menceraikan para isteri beliau.”
Kata Umar: “Aku ingin kepastiannya sekarang juga. Lalu aku masuk ke rumah ‘Aisyah dan berkata kepadanya: “Hai putri Abu Bakar!. Belum puas jugakah hatimu menyakiti hati Rasulullah!?.” ‘Aisyah menjawab dengan ketus: “Aku tidak ada urusan dengan anda wahai Ibnul Khaththab. Uruslah putri anda sendiri!.” Lalu aku masuk ke rumah Hafshah binti Umar seraya berkata: “Hai Hafshah!, Belum puas jugakah hatimu menyakiti hati Rasul!?. Engkau kan tahu, sesungguhnya Rasulullah tidak mencintai dirimu. Kalau bukanlah karena aku, engkau telah diceraikan oleh beliau. Karena itu Hafshah menangis sejadi-jadinya. Lalu kutanya dia: Dimana Rasulullah!?.” “Beliau di gudang.” Jawab Hafshah. Lalu aku pergi ke gudang.”
Kebetulan aku bertemu dengan Rabah, pelayan Rasulullah yang sedang duduk di pintu gudang melunjurkan kakinya kesebuah kayu yang dijadikan sebuah tangga tempat Rasulullah naik dan turun. Kupanggil dia: “Hai Rabah!, mintakanlah aku ijin untuk bertemu dengan Rasul Saw!.” Rabah menengok kedalam, kemudian kepadaku, tanpa mengatakan sesuatu. Lalu kupanggil lagi dia: “Hai Rabah!, mintakanlah aku ijin untuk bertemu dengan Rasulullah Saw!.” Rabah menengok kedalam, kemudian kepadaku tanpa berkata apa-apa. Kemudian kukeraskan suaraku memanggil Rabah: “Hai Rabah!. Mintakan aku ijin untuk bertemu dengan Rasulullah!.” Aku telah menduga, tentu Rasulullah telah tahu bahwa kedatanganku ialah karena Hafshah.” Demi Allah!. Seandainya Rasulullah menyuruhku supaya memenggal leher Hafshah, niscaya kupenggal dia. Perkataan itu ku-ucapkan dengan suara keras.”
Lalu Rabah memberi isyarat supaya aku naik. Aku langsung menemui Rasulullah. Beliau sedang berbaring di tikar, lalu aku duduk dekat beliau. Selagi beliau membetulkan sarungnya, aku melihat tikar itu membekas di rusuk beliau. Kuperhatikan sekeliling gudang itu. Aku tidak melihat berisi apa-apa, kecuali seonggok gandum kira-kira satu gantang, dan qaradh sebanyak itu pula, yang terletak di sudut dinding, dan sehelai kulit sedang tergantung. Itulah isi gudang simpanan beliau.
Melihat keadaan seperti itu, air mataku bercucuran. Lalu beliau bertanya: “Kenapa anda menangis hai Ibnul Khaththab?.” Jawabku: “Ya Nabiyallah!, aku menangis karena tikar ini membekas pada rusuk anda, dan gudang ini tidak tersimpan apa-apa di dalamnya. Padahal gudang Kaisar Romawi dan Kisra’ Persia berlimpah-limpah dengan buah-buahan dan serba cukup adanya, sedangkan anda adalah Rasulullah dan pilihan-Nya. Hanya beginikah gudang simpanan anda?.”
Sabda Nabi Saw.: “Hai Ibnul Khaththab, tidak sukakah engkau akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?.” Jawabku: “Aku suka Ya Rasulullah.”
Ketika aku baru masuk, kelihatan di wajah beliau, bahwa beliau sedang marah. Lalu aku bertanya: “Ya Rasulullah, apakah yang menyulitkan anda perihal para isteri anda?.” Jika anda menceraikan mereka, Allah dan sekalian Malaikat-Nya, Jibril, Mikail, aku sendiri dan Abu Bakar serta sekalian orang yang beriman akan tetap bersama anda. Belum pernah aku berkata begitu kepada beliau, sambil memuji Allah dengan ucapan-ucapan, kecuali aku berharap, semoga Allah membenarkan ucapanku itu. Maka turunlah ayat pilihan (takhyir) berikut ini:
“Dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya, begitu pula Jibril dan orang-orang mukmin yang shaleh, serta segala Malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikanmu, mungkin Tuhannya akan mengganti baginya dengan isteri-isteri yang lebih baik dari pada kamu semua.” 65
Adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar, justru bekerja sama menentang Nabi dibanding dengan para isteri Nabi yang lain.
Lalu kataku: “Ya Rasulullah, apakah anda akan menceraikan mereka berdua?.” Jawab beliau: “Tidak!.” Kataku: “Ya Rasulullah, aku baru masuk masjid, kulihat kaum muslimin memainkan kerikil sambil berkata: “Rasul Allah menceraikan para isterinya.” Apakah aku harus turun menjelaskan kepada mereka, bahwa anda tidak menceraikan mereka?.” Jawab beliau: “Silahkan jika engkau mau.”
Aku senantiasa berbicara dengan beliau, sehingga hilang kesan marah di wajahnya, berganti dengan senyuman. Dan beliau mempunyai deretan gigi yang sangat bagus, sehingga menambah indah senyumannya.
Kemudian Nabi Saw. turun, dan akupun turun sambil berpegangan melalui tangga pohon kurma. Sedangkan beliau turun seperti jalan di bumi saja layaknya, tanpa berpegangan. Aku berujar kepada beliau, “Ya Rasulullah, anda mengasingkan diri di gudang itu selama 29 hari.” Jawab beliau, memang bulan ini hanya 29 hari.”
Sesudah itu aku berdiri di pintu masjid menyiarkan pengumuman sekeras-kerasnya, bahwa Rasulullah tidak pernah menceraikan para isteri beliau. Maka turunlah ayat sebagai berikut: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita yang menyenangkan dan menakutkan, mereka langsung menyiarkannya. Padahal, bila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan pejabat-pejabat yang berwenang di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin suatu kepastian tentang kebenarannya akan mengetahuinya dari mereka.” Justru akulah yang mengecek kepastian berita itu. Kemudian Allah Swt. menurunkan pula ayat pilihan.” 66
6. Terjemahan Shahih Muslim jilid 3 halaman 110 hadits ke 1428, dengan judul teman bermusyawarah.
Dari Abdullah bin Abbas r.a. ia berkata:
“Telah setahun lamanya aku hendak bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang makna sebuah ayat. Tetapi aku tak berani menanyakannya karena hormatku kepadanya.Setelah musim haji tiba, beliau pergi haji, dan akupun bersama-sama dengannya. Ketika kami dalam perjalanan pulang, beliau pernah menyimpang jalan untuk buang hajat. Aku menunggu hingga beliau selesai. Kemudian aku berjalan pula kembali bersamanya. Ketika itulah aku bertanya kepada beliau: “Ya Amirul Mukminin, siapakah dua orang wanita di antara para isteri Rasulullah yang bekerja sama menentang kebijaksanaan beliau?.” Jawabnya: “Mereka adalah Hafshah dan ‘Aisyah.”
Lalu kataku: “Demi Allah!, aku bermaksud menanyakan masalah ini kepada anda sejak setahun yang lalu. Tetapi aku tidak berani karena menghormati kehebatan anda.” Jawab Umar: “Jangan begitu!. Apa yang kau duga aku mengetahuinya, tanyalah langsung kepadaku. Jika ternyata aku mengetahuinya, akan kujelaskan padamu.”
Kata Umar selanjutnya: “Di masa jahiliyah, kami tidak pernah mengikutsertakan wanita dalam satu urusan, sehingga tiba waktunya Allah menentukan kedudukan dan peranan mereka, seperti tersebut dalam Firman-Nya.
Maka pada suatu waktu, ketika aku sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba isteriku berkata: “Bagaimana kalau anda buat begini dan begitu?.” Lalu kataku kepadanya: “Mana engkau tahu!. Engkau tidak usah turut campur dan jangan susah-susah memikirkan urusanku!.” Jawabnya: “Anda ini sangat aneh, hai Ibnul Khaththab!. Anda tidak mau bertukar fikiran denganku, padahal putrimu (Hafshah), selalu bertukar fikiran dengan Rasulullah, sehingga pernah sehari semalaman bermarahan.”
Mendengar hal itu, lalu kukenakan pakaianku, sesudah itu aku pergi ke rumah Hafshah. Sampai di rumah Hafshah aku bertanya kepadanya: “Hai putriku!, benarkah engkau suka membantah Rasulullah?, sehingga sehari semalam bermarahan?.” Jawab Hafshah: “Demi Allah, kami hanya bertukar fikiran.” Lalu kataku: “Ketahuilah wahai anakku!. Aku peringatkan kepadamu siksa Allah dan kemarahan Rasul-Nya. Sekali-kali janganlah kamu terpengaruh dengan kebanggaan seseorang karena kecantikannya, dan karena cinta Rasulullah kepadanya.”
Kemudian aku pergi dan singgah di rumah Ummu Salamah, karena Ummu Salamah itu kerabatku. Kepadanya aku ceritakan kasus tersebut di atas. Jawab Ummu Salamah: “Anda amat aneh hai Ibnul Khathab!, anda memasuki segala urusan, sampai-sampai kepada urusan rumah tangga Rasulullah Saw. dengan para isteri beliau.” Ucapan Ummu Salamah itu menyinggung perasaanku, sehingga sangat berkesan di hatiku. Karena itu aku meninggalkannya.
Dan aku mempunyai seorang sahabat dari kalangan Anshar, yang selalu saling memberikan informasi satu sama lain di antara kami berdua. Saat itu kami sedang berjaga-jaga terhadap seorang Raja di antara Raja-raja Ghassan yang bermaksud hendak menyerang kami. Hati dan pikiran kami ketika itu, sesungguhnya banyak terpusat pada masalah serangan Bani Ghassan itu.
Sekonyong-konyong sahabat Ansharku datang mengetok pintu, seraya katanya: “Buka pintu, buka!.” Aku bertanya: “Apakah pasukan Bani Ghassan telah datang?.” Jawabnya: “Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan. Rasulullah menjauhkan diri dari para isteri beliau.” Celaka si Hafshah dan ‘Aisyah di situ!. Kemudian kukenakan bajuku, lalu aku pergi menemui Rasulullah. Kiranya beliau berada di gudang simpanan barang-barang yang dapat dinaiki dengan tangga. Seorang pelayan Nabi berkulit hitam sedang berada di kepala tangga. Aku berkata kepadanya: “Aku ini Umar!.”
Lalu, aku diijinkannya masuk. Dan kuceriterakan kepada Rasulullah kasus yang baru kudengar dan kualami. Ketika aku ceriterakan pertemuanku dengan Ummu Salamah, Rasulullah tersenyum. Beliau tidur di tikar tanpa alas, pakai bantal kulit berisi sabut. Di kaki beliau terletak seonggok biji qorodh, dan di dekat kepala beliau tergantung kulit yang baru disamak. Aku melihat tikar itu berbekas dirusuk beliau. Karena itu aku menangis sambil berkata: “Ya Rasulullah, Kisra‘ Persia dan Kaisar Romawi bermewah mewah di istana mereka dengan apa yang dimilikinya. Anda adalah Rasulullah.” Sabda Rasulullah Saw.: “Apakah engkau tidak rela keduanya memiliki dunia, sedang engkau memiliki akhirat?.”
7. Terjemahan Shahih Muslim jilid 3 hal. 114 hadits ke 1429, judul “Teman Bermusyawarah”. Dan Terjemahan Shahih Bukhari jilid 3 hal. 31 bab Peringatan kepada para isteri Nabi Saw. hadits ke 1180.
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata:
“Aku senantiasa menunggu kesempatan untuk bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang dua orang isteri Nabi Saw. yang keduanya disebut oleh Allah dalam Firman-Nya: “Jika kamu berdua taubat kepada Allah, maka sesungguhnya hatimu condong melakukan hal itu... dan seterusnya.”( At-Tahrim : 4-5).
Ketika Umar pergi haji, akupun haji pula bersama-sama dengannya. Dalam perjalanan, tiba-tiba Umar menyimpang (untuk buang hajat), dan aku menyimpang pula mengikutinya dengan membawa sebuah ember. Setelah selesai, kutuangkan air ketangannya, lalu dia berwudhu’.
Sesudah itu aku bertanya: “Ya Amirul Mukminin!, siapakah dua orang isteri Nabi yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya: “Jika kamu berdua bertaubat, maka sesungguhnya hatimu berdua telah condong melakukan hal itu .... dan seterusnya.” (QS. At-Tahrim : 4-5).
Jawab Umar: “Engkau ini aneh hai Ibnu Abbas!. Keduanya adalah Hafshah dan ‘Aisyah”. Kemudian Umar melanjutkan ceritanya: “Dahulu, kami suku Qurays, adalah suku yang berkuasa atas wanita. Setelah kami datang ke Madinah, kami dapati di sana kaum wanitanya berkuasa. Sudah tentu wanita-wanita kami belajar kepada mereka. Ketika itu rumahku berada di perbukitan dalam perkampungan Bani Umayyah Ibnu Zaid. Pada suatu hari, aku memarahi isteriku, tapi ia tidak mau lagi dimarahi, lalu melawan kemarahanku itu. Namun aku tidak mau dibantah.”
Lalu katanya: “Kenapa engkau tidak mau dibantah, sedangkan para isteri Nabi membantah beliau. Bahkan salah seorang di antaranya ada yang menjauhkan diri sehari-harian.”
Lalu aku pergi ke rumah Hafshah dan bertanya kepadanya: “Betulkah engkau suka membantah Rasulullah?.” Jawabnya: “Ya, betul!.” Betulkah engkau sampai menjauhkan diri dari Rasulullah sampai malam?.” Jawabnya: “Ya, betul!.” Kataku: “Sungguh sia-sia dan merugilah orang yang berbuat demikian. Adakah engkau merasa aman terhadap murka Allah tersebab murka Rasulullah?, ia pasti binasa. Karena itu engkau jangan membantah Rasulullah, dan jangan pula minta apa-apa dari padanya. Mintalah kepadaku apa yang kau perlukan. Dan janganlah engkau terpengaruh karena tetanggamu lebih cantik dan lebih dicintai Rasulullah dari pada dirimu sendiri.”
Kata Umar selanjutnya: “Aku mempunyai seorang tetangga Anshar, di mana kami berganti-gantian menunggu berita dekat Rasulullah kalau-kalau ada wahyu turun. Sehari dia yang menunggu, kemudian mengabarkannya padaku jika ada wahyu turun. Besok hari aku yang menunggu dan mengabarkan pula kepadanya.
Kami pernah bercakap-cakap bahwa Bani Ghassan telah bersiap-siap hendak menyerang kami. Sahabatku pergi menemui Nabi seperti biasa, dan baru kembali setelah Isa’. Dia mengetok pintu dan memanggilku. Aku segera keluar menemuiya. Lalu dia berkata: “Telah terjadi suatu peristiwa yang sangat besar.” Tanyaku: “Apakah Bani Ghassan telah menyerang?.” “Bahkan lebih besar dari itu dan lebih panjang. Nabi menceraikan semua isteri beliau.” Kataku: “Sungguh malang dan merugilah Hafshah. Aku telah menduga bahwa kasus ini akan terjadi.”
Setelah shalat shubuh, kukenakan bajuku. Lalu aku pergi ke rumah Hafshah. Kudapati dia sedang menangis. Lalu kutanya: “Betulkah kamu semua diceraikan Rasulullah?.” Jawab Hafshah: “Aku tidak tahu. Tapi yang pasti beliau mengasingkan diri di gudang tempat penyimpanan barang-barang.”
Lalu kutemui pelayan beliau, seorang yang berkulit hitam, seraya aku berkata: “Mintakan ijin kepada Rasul, Umar mohon bertemu dengan beliau.” Pelayan itu masuk, lalu keluar lagi menemuiku. Katanya: “Aku telah menyampaikannya kepada beliau, tetapi beliau diam saja.” Karena itu aku pergi. Setelah aku sampai kedekat mimbar, aku duduk. Di sana telah banyak orang duduk, bahkan sebagian mereka ada yang menangis. Setelah duduk sebentar, perasaanku (untuk bertemu dengan Rasulullah) sangat mempengaruhiku. Maka kudatangi lagi pelayan, seraya kataku: “Mintakan ijin bagi Umar!.” Si pelayan masuk. Lalu keluar lagi menemuiku. Katanya: “Pesan anda telah kusampaikan, tetapi beliau diam saja.” Ketika aku telah beranjak hendak pergi, tiba-tiba si pelayan memanggilku. Katanya: “Silahkan anda masuk, beliau telah mengijinkan.”
Aku segera masuk sambil memberi salam kepada beliau. Ketika itu kulihat beliau sedang berbaring di tikar anyaman. Dan tikarnya membekas di rusuk beliau. Aku bertanya: “Betulkah anda menceraikan para isteri anda Ya Rasulullah?.” Beliau lalu menegakkan kepalanya kepadaku seraya berkata: “Tidak!.” Kataku: “Allahu Akbar!. Anda tentu telah maklum Ya Rasulullah, bahwa kita kaum Qurays adalah suatu kaum yang berkuasa atas wanita. Maka tatkala kita hijrah ke Madinah, kita dapati di sini kaum wanitanya yang menguasai pria. Sudah tentu wanita-wanita kita belajar dari mereka. Pada suatu hari aku marah-marah pada isteriku, tapi dia membantahku. Aku menyalahkannya dia membantahku. Lalu dia menjawab: “Anda tidak dapat menyalahkanku.
Demi Allah, sesungguhnya para isteri Nabi sering membantah beliau. Bahkan salah seorang di antaranya menjauhi beliau sampai malam.” Maka jawabku: “Sungguh malang dan merugilah siapa yang berbuat demikian. Apakah dia merasa aman dari murka Allah, tersebab murka Rasulullah kepadanya?.” Mendengar ucapanku itu, Rasulullah tersenyum.”
Kataku selanjutnya: “Ya Rasulullah, aku baru datang dari rumah Hafshah. Lalu aku berkata kepadanya: “Janganlah kamu terpengaruh jika ada tetanggamu ada yang lebih cantik dan lebih dicintai Rasulullah dari padamu.” Rasulullah tersenyum pula mendengarnya. Aku berkata pula: “Aku mohon ijin Ya Rasulullah untuk tinggal lebih lama di sini.” Jawab beliau: “Ya, boleh.” Lalu aku duduk sambil mendongakkan kepala melihat keadaan di sekitarku. Demi Allah!. Tidak ada sesuatupun yang kelihatan selain tiga onggokan. Lalu kataku: “Mendo‘alah kepada Allah Ya Rasulullah, semoga Dia melapangkan penghidupan umat anda. Allah telah melapangkan penghidupan di Persia dan Romawi, sedang mereka tidak menyembah Allah.”
Mendengar itu Rasulullah duduk bersila, kemudian bersabda: “Apakah engkau masih ragu hai Ibnul Khaththab!?. Mereka memang disegerakan untuk menerima segala kebaikan dalam hidup di dunia ini.” (Mereka tidak akan memperoleh apa-apa dalam kehidupan di akhirat selain derita). Kataku: “Mohonkanlah ampun bagiku Ya Rasulullah (aku terlanjur).”
Rasulullah telah bersumpah tidak akan pulang kerumah para isterinya selama sebulan. Karena sangat tersinggung oleh ulah mereka. Sehingga beliau dapat tegoran dari Allah ‘Azza Wa Jalla.”
Az-Zuhri berkata: “Urwah mengabarkan kepadaku dari ‘Aisyah. Setelah cukup 29 malam Rasulullah pulang kerumahku. Beliau mulai giliran denganku. Aku bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah, anda telah bersumpah tidak akan pulang kerumah kami selama sebulan. Sekarang baru tanggal 29, anda sudah pulang. Aku menghitung sendiri Ya Rasulullah.” Jawab beliau: “Sebulan itu kadang-kadang 29 hari.” Kemudian beliau meneruskan sabdanya: “Ya ‘Aisyah!. Aku hendak mengatakan kepadamu sesuatu yang penting, karena itu hendaknya engkau jangan terburu-buru menjawabnya sekarang, sebelum kau musyawarahkan dengan kedua orang tuamu.” Lalu dibacakan oleh beliau ayat: “Wahai Nabi!. Katakanlah kepada Isteri-isterimu ....... hingga sampai ...... pahala yang besar.” (Al-Ahzab 28-29).
‘Aisyah yakin, bahwa Bapak dan Ibunya tidak akan mungkin menyuruh cerai dengan Nabi. Karena itu dia menjawab kepada Rasulullah Saw.: “Apakah untuk masalah ini anda menyuruhku musyawarah dengan orang tuaku?. Aku hanya menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta kampung akhirat.”
Ma’mar berkata: “Ayub mengabarkan, bahwa ‘Aisyah berkata: “Kumohon kepada anda, sudilah kiranya putusanku ini jangan anda sampaikan kepada para istri anda yang lain.” Jawab Nabi Saw.: “Allah mengutusku untuk memudahkan, dan tidak mengutusku untuk menyusahkan.”
Dalam kitab Shahih Bukhari yang berbahasa arab, hal tersebut ada pada juz 2 hal. 70 bab Kitabul Madhalim, bab Al-Ghurfah Wal ‘Ulliyyah Al-Musyarrafah Wa Ghairil Musyarrafah fis-Suthuh Wa ghairiha.
8. Dalam Shahih Bukhari (arab) ada pada juz 2 hal. 72 bab yang sama; Pada terjemahannya jilid 3 hal. 37 hadits yang ke 1181 disebutkan:
عَنْ اَنَسٍ قَالَ آلَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) مِنْ نِسَائِـهِ شَهْرًا وَكَانَتْ اِنْفَكَّتْ قَدَمُهُ فَجَلَسَ فِيْ عِلِّيَّةٍ لَهُ؛ فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ أَطَلَّقْتَ نِسَائَكَ ؟؛ قَالَ لاَ وَلَكِنِّيْ آلَتُ مِنْهُنَّ شَهْرًا فَمَكَثَ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ ثُمَّ نَزَلَ فَدَخَلَ عَلَى نِسَائِهِ .
Dari Anas r.a. ia berkata: “Rasulullah Saw. bersumpah untuk menjauhkan diri dari para isteri beliau selama satu bulan, telapak kaki beliau menjadi bengkak. Ketika beliau duduk di atas tempat yang tertinggi, datang Umar bin Khathab dan berkata: “Tuan ceraikankah isteri-isteri Tuan?.” Beliau menjawab: “Tidak!. Akan tetapi saya bersumpah menjauhkan diri dari mereka selama satu bulan.” Maka setelah berlangsung 29 hari, beliau turun, lalu masuk ke tempat isteri beliau.”
Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلاً () وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَالدَّارَ اْلآخِرَةَ فَاِنَّ اللهَ اَعَـدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيْمًا ()
“Hai Nabi!, Katakanlah kepada isteri-isterimu. Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah, supaya kuberikan kepadamu Mut‘ah (suatu pemberian), dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (QS. al-Ahzab : 28-29).
Demikianlah, beberapa hadits yang begitu jelas dan gamblang, tentang keadaan para isteri Nabi Saw., pada waktu beliau masih hidup. Apalagi, bila anda sudi membaca kitab-kitab Tarich atau sejarah Islam yang ditulis oleh para Ulama‘, baik yang berbahasa arab, Indonesia atau yang lainnya, maka anda akan lebih banyak mengetahui tentang kejadian-kejadian yang amat sangat terlalu perlu disesalkan. Misalnya:
a. Peristiwa perang Jamal (perang onta).
Dimana seorang isteri Nabi (‘A’isyah), sambil mengendarai onta, memimpin sendiri berperang melawan kaum Muslimin (para sahabat). Akibatnya, sekitar 12.000. sahabat mati terbunuh. Hingga kalau diceritakan akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Oleh karena itu, bila anda ingin lebih luas, silahkan membaca sendiri kitab-kitab sejarah Islam yang telah ditulis oleh para Ulama‘.
Namun demikian, sekalipun keterangan ini sangat singkat, insya Allah sudah dapat untuk menjadi ukuran bagi kita, bahwa para isteri Nabi itu tidak termasuk dari golongan Ahlul Bait yang disucikan (QS. al-ahzab : 33), sebab sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada. Jadi, para isteri Nabi itu, ada yang baik, ada pula yang kurang baik, bahkan ada yang tidak baik; ada yang shalihah, ada pula yang kurang shalihah, bahkan ada yang tidak shalihah.