Selasa, 24 Mei 2016

Unknown

BSM | Makalah Ketiga belas

Makalah membedah shirathal mustaqiem bagian dua

KESALAH PAHAMAN

Saudaraku.

Banyak orang salah paham tentang pengertian antara Ahlul Bait dengan para Habaib. Kebanyakan umat Islam menganggap sama pengertian antara Ahul Bait dengan para Habaib itu, padahal tidaklah demikian.

Begini, Rasulullah Saw. dan keluarganya beserta anak keturunannya itu, dikenal dengan 3 (tiga) macam istilah. Yaitu:
1.    Ahlul Bait.
2.    ‘Itrah Ahlul Bait.
3.    Dzurriyyah Ahlul Bait.

Nah, siapa sajakah yang termasuk dari Ahlul Bait Nabi Saw. itu?.
Yang termasuk dari Ahlul Bait Nabi Saw. itu adalah:
1.    Rasulullah Saw. sendiri.
2.    Sayyidah Fathimah Az-Zahra’ as.
3.    Imam Ali bin Abi Thalib as.
4.    Imam Hasan as.
5.    Imam Husein as. 

Mereka inilah yang disebut dengan istilah Ahlul Bait, atau Ahlul Kisa’, yakni ahli selimut, sebab mereka ini pernah satu selimut atau di selimuti oleh Nabi Saw. menjadi satu dengan diri beliau. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, yakni isteri beliau Saw. sendiri. Hadits ini menerangkan tentang sebab-sebab turunnya surat al-Ahzab ayat 33, yang kandungannya adalah sebagai berikut:

Ummu Salamah r.a. berkata: “Ketika Nabi Saw. menerima wahyu surat al-Ahzab ayat 33, beliau berada di rumahku bersama Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Kemudian beliau memasukkan mereka ke dalam sorban beliau, seraya bersabda: “Ya Allah, merekalah Ahlul Baitku, maka hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.”

Dan ketika itu, Ummu Salamah ingin masuk dengan cara menyingkap sorban beliau dengan tangannya, seraya ia berkata: “Ya Rasulullah, bukankah aku termasuk dari Ahlul Baitmu?.” Beliau menepis tangan Ummu Salamah dengan tangan beliau yang mulia, seraya bersabda: “Kamu dalam kebaikan, kamu dari isteri-isteriku.”

Nah, kelima orang inilah yang disebut dengan manusia-manusia suci yang telah dijamin oleh Allah Swt., yang tidak akan berbuat dosa dan kesalahan, walau sedikitpun juga, bahkan telah disucikan oleh-Nya dengan sesuci-sucinya. Sehingga, seluruh kehidupan, perilaku dan perkataannya pastilah benar. Bobot kebenarannya sama dengan kebenaran al-Qur’an. Sehingga dapat dijadikan dalil atau contoh. Dan memang seharusnya kita mencontoh mereka itu.

Lalu, siapa sajakah yang termasuk dari ‘Itrah Ahlul Bait Nabi Saw. itu?.
Yang termasuk dari ‘Itrah Ahlul Bait Nabi Saw. itu adalah:

Kedua belas manusia suci yang ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai Imam dan pemimpin umat setelah Nabi Saw. tiada, atau sebagai pengemban risalah Allah dan Rasul-Nya. Kepemimpinan mereka saling bergantian dan bersambung terus hingga hari kiamat tiba. Mereka itu adalah:
1.    Imam Ali bin Abi Thalib as.
2.    Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib as.
3.    Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib as.
4.    Imam Ali Zainal Abidin bin Husein as.
5.    Imam Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin as.
6.    Imam Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir as.
7.    Imam Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Sha- diq as.
8.    Imam Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim as.
9.    Imam Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ri- dha as.
10.         Imam Ali Al-Hadi bin Muhammad al-Jawad as.
11.         Imam Hasan al-‘Askari bin Ali al-Hadi as.
12.         Imam Muhammad al-Mahdi bin Hasan al-‘Askari as.

Mereka ini, juga manusia-manusia suci yang tidak akan berbuat salah dan dosa walau sedikitpun juga, bahkan juga disucikan oleh Allah Swt. sesuci-sucinya. Oleh karena itu, seluruh perkataan, perilaku dan kehidupannya, pastilah benar. Dan bobot kebenarannya juga sama dengan kebenaran al-Qur’an. Sehingga, dapat dijadikan dalil atau contoh. Dan memang, seharusnya kita meneladani dan mencontoh mereka. Sebab, seluruh perintah dan larangan mereka sama dengan perintah dan larangan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Sebab, mereka adalah merupakan hujjah atau saksi Allah di bumi-Nya. Mereka akan menjadi saksi bagi manusia sesuai dengan zamannya masing-masing bila hari pengadilan tiba, yakni hari kebangkitan manusia dari dalam kuburnya, demi mempertanggung jawabkan perbuatannya masing-masing.

Lalu, siapa sajakah yang termasuk dari Dzurriyyah Ahlul Bait Nabi Saw. itu?.

Adapun yang termasuk dari Dzurriyyah Ahlul Bait Nabi Saw. itu adalah:

Siapa saja yang nasab atau keturunannya bersambung terus hingga ke Ahlul Bait Nabi Saw. Yang mana mereka itu dikenal dengan sebutan: Habib, Sayyid, Ayyib, Syarif, Sidi, Tuanku, atau Wan bila mereka dari laki-laki. Sedang dari wanitanya dikenal dengan sebutan: Habibah, Sayyidah, Syarifah atau Wan juga. Dan di Indonesia saja, mereka dikenal dengan bermacam-macam marga atau anak suku.

Di antaranya adalah:

1.      Al-Maulad-Dawilah.
2.      Al-Saqaaf/As-Segaff.
3.      Al-Attas. 
4.      Al-Hadad.
5.      Al-Musawa.
6.      Al-’Aydrus.
7.      Al-Habsy.
8.      Al-Jufri.   
9.      Al-Munawar.
10.  Al-Muhdhar.
11.  Al-Hamid.
12.  Al-Masyhur.
13.  Al-Jamalul Lail.
14.  Al-Baar.
15.  Al-Ba’buud.
16.  Al-Baraqbah.
17.  Al-Bin Sahl.
18.  Al-Bin Syueib.
19.  Al-Bin Thahir.
20.  Al-Bin Yahya.
21.  Al-Ba Rum.
22.  Al-Bu Futim.
23.  Al-Bu Numay.
24.  Al-Taqowi.
25.  Al-Jailani.
26.  Al-Hasni.
27.  AlKhaneyman.
28.  Al-Al-Khird.
29.  Al-Zahir.
30.  Al-Sumeyt.
31.  Al-Sakron.
32.  Al-Safi.
33.  Al-Barakwan.     
34.  Al-Bahr.
35.  Al-Bafaqih.
36.  Al-Mahdali.
37.  Al-Ba ‘Aqil.
38.  Al-Madeihy.
39.  Al-Bil Faqih.
40.  Al-Hamid Munfar.
41.  Al-Ba ‘Ali.
42.  Al-Bareyk.
43.  Al-Ba Faroj.
44.  Al-Ba Harun.
45.  Al-Ba Hasyim.
46.  Al-Aidid.
47.  Al-Balakhi.
48.  Al-Ba Syiban.
49.  Al-Ba Surroh.
50.  Al-Ba Umar.
51.  Al-Bin Abbad.
52.  Al-Bin Ahsan.
53.  Al-Bin Quthban.
54.  Al-Bin Syeikh Abu Bakar.
55.  Al-Kaff.
56.  Al-Maulakhailah.
57.  Al-Mudhir.
58.  Al-Muqoibil.
59.  Al-Muthohhar.
60.  Al-Wahth.
61.  Al-Haddar.
62.  Al-Hadi.
63.  Al-Hindun.
64.  Al-Sri.
65.  Al-Syathiri.
66.  Al-Syihab.
67.  Al-Ba Huseyn.
68.  Al-Aqil Bin Salim.
69.  Al-Fad’aq.
70.  Al-Fakhr.
71.  Al-Qadri.
72.  Al-Junaid.
73.  Al-Maghribi.
74.  Al-Marzaq.
75.  Al-Baiti.
Dan lain-lain.

Mereka itu, bukan manusia-manusia yang dijamin kesucian dan kebenarannya, karenanya, sehingga bisa saja mereka itu berbuat dosa dan kesalahan. Jika mereka ini kok baik, ‘alim, ‘arief dan ikhlas, maka hanya akan mencapai derajat keshalihan saja. Misalnya:
1.    Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas. Beliau ini telah al-Marhum. Makamnya di Makam kramat empang, terletak di kota Bogor.
2.    Habib Ali Kwitang. Beliau ini juga telah al-Marhum. Makamnya terletak di kwitang Jakarta.
3.    Habib Husein bin Abu Bakar al-‘Aydrus. Beliau ini juga telah al-Marhum. Makamnya terletak di pasar ikan Jakara. Makamnya dikenal dengan makam kramat luar batang.
4.    Habib Husein bin Abu Bakar al-Habsy. Beliau juga telah al-Marhum. Makamnya terletak di komplek YAPI Bangil.

Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang tak mungkin dapat kami sebutkan semuanya di sini.

Oleh karena itu, di antara para Habaib itu ada yang shaleh dan ada juga yang kurang shaleh, bahkan ada yang tidak shaleh. Ada yang ‘alim dan ada pula yang kurang ‘alim, bahkan ada yang tidak ‘alim. Dan oleh karenanya juga, di antara mereka itu, ada yang perbuatannya sesuai dengan syari’at agama Islam dan ada pula yang setengah-setengah, bahkan ada yang bertentangan dengan syari’at agama Islam. Maka dari itu, bila perbuatan mereka ini kok baik dan sesuai dengan syari’at agama Islam, maka boleh kita ikuti dan teladani. Akan tetapi, bila perbuatan mereka itu kok tidak baik dan tidak sesuai dengan syari’at agama Islam, maka tidak boleh kita ikuti dan teladani.

Mungkin ada yang bertanya:
“Apakah semua Habaib itu pasti mengerti tentang ajaran dari Ahlul Bait Nabi Saw.?.”
Iya, di antara mereka ini, ada yang mengerti tentang ajaran dari Ahlul Bait Nabi Saw., ada yang kurang mengerti, dan ada pula yang tidak mengerti, bahkan ada pula yang memusuhi.

Oleh karena itu, kami peringatkan: Jangan menanyakan soal ajaran Ahlul Bait ini kepada sembarang “Habaib”. Apalagi kok kepada orang yang asal saja mengaku sebagai Habib. Walaupun mereka itu dapat menunjukkan buku nasabnya. Sebab, kadang-kadang sekarang ini, atau mungkin juga dari dulu, banyak yang sebenarnya bukan Sayyid tapi ngaku Sayyid, bukan Habib tapi ngaku Habib. Dan hal ini terjadi di mana-mana. Yang biasanya tujuan mereka itu hanyalah untuk memenuhi kepentingan pribadinya, atau kepentingan duniawinya saja; atau bahkan untuk mencemarkan nama baik keluarga Rasulullah Saw.

Masalah mengerti dan tidaknya mereka itu mengenai ajaran dari Ahlul Bait Nabi Saw. yang suci, adalah tergantung dari belajar dan tidaknya mereka itu, artinya jika memang mereka itu mau belajar, maka pastilah mengetahuinya. Sebalik- nya, bila tidak mau belajar, maka ya pasti tidak akan tahu.

Sebenarnya, para Habaib itu, bila mau belajar dengan sungguh-sungguh, maka pasti akan cepat dapat memahaminya. Karena, biar bagaimana, pada diri mereka itu telah mengalir darah dan daging Nabi Saw., yang dalam istilah jawa disebut dengan: “Trahing Kusumo rembesaning Madu”.

Jadi, mereka itu sebenarnya sudah ada wadahnya, namun sayang, kadang-kadang mereka tidak mau menggunakan wadahnya dengan sebaik-baiknya.

Mungkin ada lagi yang bertanya:
“Apakah para habaib itu kalau berbuat dosa juga sama hukumnya dengan yang bukan habaib?.”

Para habaib itu, bila mereka berbuat baik dan sesuai dengan hukum syari’at Islam, maka baginya pahala dua kali lipat. Yakni, pahala dari karena perbuatannya, dan pahala dari karena mereka telah menjaga atau membawa harum nama kakeknya. Yakni Rasulullah Saw. Sebaliknya, bila mereka berbuat keburukan, atau yang tidak sesuai dengan hukum syari’at Islam, maka bagi mereka juga mendapat dosa dua kali lipat. Yakni, dosa dari karena perbuatannya, dan dosa dari karena tidak mau menjaga atau mencemarkan nama baik kakeknya.

Dengan demikian, bila kita menemukan kebenaran kok melalui mereka, maka kita harus mengikutinya dengan dua kali lipat, artinya kita harus sungguh-sungguh dalam mempercayai dan meyakininya. Sebaliknya, bila kita menemukan kebatilan melalui mereka, maka kitapun harus menjauhinya sungguh-sungguh, artinya jangan mempercayainya. Karena, sebagai cucu atau keturunan dari Nabi Saw., mestinya membawa kebenaran bukan membawa kebatilan.

“Kenapa tidak semua Habaib itu mengerti tentang ajaran-ajaran dari Ahlul Baitnya?.”

Ya, karena mereka itu tidak semuanya belajar, kalau memang mereka mau belajar, ya pasti mengerti. Wong ajaran dari kakeknya kok, masak tidak mengerti?.

Lagi pula, kita kan sudah faham, bahwa masalah kebenaran itu, tidak mesti harus dari Habaib datangnya, akan tetapi, dari siapapun, yang penting sesuai dengan dalil aqli dan dalil naqli. Sebaliknya, walaupun dari Habaib, namun jika memang tidak sesuai dengan dalil aqli dan dalil naqli, maka kita wajib menolaknya.

Dan lagi, yang dijamin pasti benar itu kan kalau berasal dari Ahlul Bait Nabi Saw. atau dari ‘Ithrah Ahlul Bait Nabi Saw., bukan yang berasal dari Dzurriyyahnya. Kalau yang berasal dari Dzurriyyahnya, maka harus kita teliti dulu kebenarannya.

Ingat!, Nabi Saw bersabda:
أُنْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ .

“Lihatlah apa yang dikatakan, dan jangan melihat orang yang mengatakan.”

Pepatah mengatakan:

“Walau dari pantat ayam, bila yang keluar itu telor, maka ambilah!. Namun bila yang keluar tahinya, maka buanglah!.”

Dengan demikian, setiap manusia, selain para manusia suci, pasti mengeluarkan dua hal. Jika tidak benar ya salah. Karena itu, baik itu Ustadz, Kyai, Romo Yai, Ajengan, Habib atau siapa saja, jika memang mengeluarkan kebenaran, maka kita harus mengambilnya. Akan tetapi, jika yang dikeluarkannya itu berupa kebatilan dan kesesatan maka kita harus membuangnya!.”

Namun demikian, kami berharap, dengan segala kerendahan hati, semoga para Habaib yang masih hidup ini dan seterusnya, bisa menjadi pembawa-pembawa kebenaran, bukan pembawa-pembawa kebatilan dan kesesatan. Sebagaimana para pendahulu dan leluhur mereka. Amin. Insya Allah.

“Seandainya ada habib yang melanggar syari’at agama, maka apa yang harus kita lakukan?.”

Pertama, bila kita mampu dan mempunyai keberanian, maka ingatkanlah mereka dengan kakeknya, atau asal usul mereka. Misalnya begini: “Pak Habib, atau Pak Sayyid, Tuan ini cucu Nabi lhoo, darah dan daging beliau mengalir di tubuh tuan; nah, apakah tuan tidak malu berbuat begini dengan kakek tuan?.” Insya Allah, dan kami sangat yakin,

jika dia itu memang betul-betul Habib yang berasal dari Nabi Saw., maka pasti sadar, terkecuali Habib gadungan.

Kedua, bila kita tidak mampu serta tidak mempunyai keberanian untuk itu, maka serahkanlah dia kepada Habib yang mengerti, biar Habib yang mengerti itulah yang menasehatinya. Jangan malah memberi kesempatan untuk berbuat sesuatu yang melanggar syari’at; Atau, mencaci mereka di mana-mana; Atau, mengambil tindakan dengan main hakim sendiri, atau keterlaluan terhadap mereka, yang mengakibatkan kurangnya rasa hormat kita kepada kakek mereka. Oleh karena itu, berhati-hatilah!.

Ketiga, yang paling sederhana adalah: Menjaga jarak dengan mereka, namun tetap baik.

Saudaraku, persoalan yang dilakukan oleh para Habaib ini, baik yang menyangkut masalah ajaran dari Ahlul Bait Nabi yang suci dan benar, maupun yang kadang-kadang dari ulah mereka sendiri yang kurang baik, seperti meminta sesuatu dengan cara menekan, dan lain sebagainya, sepengetahuan kami, juga dirasakan pahitnya oleh seluruh Habaib yang mengerti. Para Habaib yang mengerti sendiri cukup prihatin dan repot juga menghadapi ulah para Habaib yang menyimpang itu. Mereka juga telah berusaha dengan sekuat tenaga agar semuanya menjadi baik.

Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama dengan para Habaib yang mengerti untuk menghadapi mereka. Artinya, dengan cara membimbingnya, atau minimal mendo’akannya agar mereka segera kembali ke jalan yang benar, yaitu jalan kakek mereka, yakni Rasulullah Saw. dan Ahlul Baitnya. Amin.

Dan sebagai sumbangan kami kepada para Habaib, mohon direnungkan kisah dan beberapa hadits berikut ini:

Pada suatu hari, salah seorang sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. memberitahu kepada beliau, bahwa sebagian dari pengikutnya telah menyeleweng, mereka menghalalkan yang haram dan memandang agama hanya sebatas pengakuan saja. Sebagian dari mereka juga mengatakan, bahwa: “Apabila sudah mengakui Imam, maka berbuatlah sesukamu!.”Imam Ja’far ash-Shadiq as. kemudian mengatakan: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Orang-orang kafir itu telah menakwilkan apa-apa yang tidak mereka ketahui takwilnya dengan pikiran dan keinginan mereka. Sebenarnya, seseorang itu harus berma’rifah. Selanjutnya, hendaknya dia ta’at, sehingga seluruh perbuatannya diterima. Sebab Allah Swt. tidak akan menerima perbuatan tanpa ma’rifah”.

Muhammad bin Marid mengatakan: “Aku berkata kepada Imam Shadiq a.s.; “Wahai Imam, sebuah hadis telah diriwayatkan kepada kami, bahwa engkau mengatakan: “Sekiranya engkau sudah berma’rifah, maka berbuatlah sesukamu!.” Kemudian beliau as. berkata: “Ya, aku memang mengatakan begitu.” Aku bertanya pula: “Kendatipun mereka berzina, atau mencuri, atau meminum khamar?.” Imam as. berkata kepadaku: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Demi Allah, mereka melempar batu sembunyi tangan. Aku hanya mengatakan: “Sekiranya engkau telah berma’rifah, maka berbuatlah kebaikan sesukamu, sedikit atau banyak, karena ia diterima dari engkau!.”

Memang, ada riwayat yang mengatakan, bahwa: “Mencintai Imam ‘Ali adalah kebaikan yang tidak akan bisa dinodai oleh keburukan.” Akan tetapi, hal ini bermaksud, bahwa “Sekiranya engkau benar-benar mencintai Imam ‘Ali as., maka dosa-dosa itu tidak menimpakan suatu penderitaan kepadamu”. Artinya, jika engkau jujur dalam mencintai Imam ‘Ali sebagai insan kamil dan ketaatan, maka ibadah dan akhlakmu kau lakukan dengan ikhlas, dan mengikuti petunjuknya, serta tidak disertai dengan riya’ dan nifaq, maka hal itu akan menjadi pagar yang memisahkan engkau dari perbuatan-perbuatan jahat dan dosa, seperti virus yang disuntikkan kepada seseorang untuk mengimunisasinya dari penyakit-penyakit yang bervirus kebalikannya.

Mencintai seorang teladan, semisal Imam ‘Ali a.s., yang telah menjadi cerminan hidup dari amal shaleh, ketakwaan, dan kesucian diri, akan membuat seseorang mencintai perjalanannya, sehingga bisa memusnahkan pikiran untuk berbuat dosa. Seseorang yang mengenal Imam ‘Ali a.s. dan ketakwaannya, serta mengenal bagaimana keasyikan, kehangatan dan jeritannya (kepada Allah) di penghujung malam sehingga senantiasa rindu kepadanya, maka mustahil baginya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan perintah-perintahnya. Dapat dipastikan, bahwa dia akan melakukan apa yang diperintahkan dan diamalkan oleh beliau, termasuk dalam bertakwa, beramal shaleh dan beristiqamah. Setiap pecinta pasti menghormati semua kesukaan kekasihnya, dan akan memperhatikan perintah-perintahnya. Ketaatan kepada sang kekasih merupakan konsekuensi cinta yang jujur dan tidak hanya terbatas kepada Imam ‘Ali as. saja. Kecintaan kepada Rasulullah Saw. pun akan seperti itu. Apalagi dzurriyahnya, yang tentunya pasti mencintainya pula.

Jadi, mencintai Imam ‘Ali as. dan Rasulullah Saw. akan menghalangi dosa-dosa yang akan menodai kita, karena kecintaan kepadanya akan menghalangi jalan untuk beruat dosa. Bukan kok berarti, bahwa mencintai Imam ‘Ali as. dan Rasulullah Saw., apalagi sebagai dzurriyahnya, akan membuat dosa-dosa tidak akan berbahaya. Hal ini tidak jauh bedanya dengan sebagian kaum sufi yang mengklaim bahwa mereka telah mencintai Allah, akan tetapi di sisi lain, mereka telah melakukan tindakan-tindakan yang lebih jelek dari setiap orang fasik dan para penyeleweng. Mereka mengklaim mencintai Allah, padahal itu hanya dusta belaka!.

Imam Shadiq a.s. mengatakan: “Kau maksiati Allah, tetapi kau tampakkan cinta kepada-Nya. Sungguh ini merupakan perilaku yang unik. Kalaulah cintamu jujur, sungguh Dia akan kau ta’ati, karena pecinta akan selalu ta’at kepada yang dicintainya!.”

Dengan demikian, maka pengikut Rasulullah Saw., apalagi dzurriyahnya, yang sejati, pasti akan selalu menjauhkan diri dari dosa. Pengakuannya akan menjadi pemelihara mereka dari dosa dan tidak akan pernah membuat mereka cenderung melakukannya.

Imam al-Baqir as. mengatakan: “Tidaklah wilayat kami akan diterima kecuali dengan amal shaleh dan kerendahan hati.”

Thowus al-Yamani mengatakan:
“Aku melihat Imam ‘Ali bin Husain thawaf di Baitullah, dan sibuk beribadah sejak Isya’ hingga waktu sahur. Ketika tempat itu mulai sepi, dan tidak ada seorangpun di situ,
136

beliau mulai menghadap Allah dengan mengatakan: “Duhai Tuhanku, bintang gemintang telah tiada, begitu juga seluruh mata telah lelap, tetapi pintu-pintumu tetap terbuka bagi mereka yang meminta ……………”.

Beliau berkali-kali air matanya berderai, menangis tersedu-sedu dan terus sujud di atas tanah. Akupun mendekatinya, lalu aku angkat kepala beliau dan aku letakkan di pangkuanku. Aku mulai menangis, dan air mataku membasahi wajah beliau, sehingga menyadarkan beliau.

Beliau berkata: “Siapakah gerangan yang menggangguku berdzikir kepada Tuhanku?.”
Aku menjawab: “Aku, Thowus, wahai cucu Rasulullah. Mengapa engkau meronta dan menangis?. Bukankah semestinya yang berbuat demikian itu kami yang pendosa dan keras hati?. Belum cukupkah ayah engkau, Rasulullah Saw. (sebagai jaminan)?. Mengapa engkau begitu berduka dan takut seperti ini, padahal kemuliaanmu tak akan tertandingi oleh kemuliaan orang lain?.”

Imam ‘Ali Zainal Abidin menoleh kepadaku dan berkata: “Sungguh jauh, sungguh jauh wahai Thowus. Jangan kau katakan kepadaku tentang ayahku, ibuku, dan kakekku. Allah menciptakan surga bagi yang ta’at dan berbuat baik kepada-Nya, sekalipun ia seorang budak hitam; dan Allah ciptakan neraka bagi siapa yang memaksiati-Nya, sekalipun ia seorang penghulu Quraisy. Tidakkah engkau dengar firman Allah Swt: “Apabila sangkakala telah ditiup, maka putuslah hubungan keturunan di antara mereka pada hari itu, dan mereka tidak akan saling bertanya. Demi Allah!. Tidaklah aku bermanfaat bagimu untuk hari esokmu, selain amal shaleh yang engkau persembahkan!.”

Pada suatu hari, setelah futuh-Makkah (Penaklukan Makkah), Rasulullah Saw. naik ke bukit Shofa dan berteriak: “Wahai putra-putra Hasyim!. Wahai putra-putra Abdul Muththalib ……!.” Ketika mereka sudah berkumpul semua, beliau Saw. berkhutbah: “Sesungguhnya, aku adalah Rasulullah yang diutus kepada kalian. Sungguh, aku mencemaskan kalian. Janganlah kalian mengatakan bahwa Muhammad dari kami. Demi Allah, bukankah wali-waliku itu, baik yang dari kalian maupun selain kalian, kecuali orang-orang yang bertakwa?. Dan aku tidak ingin kalian kelak, pada hari kiamat, mendatangi aku dengan membawa dunia di atas pundak-pundak kalian, sementara orang lain membawa akhirat. Ketahuilah, bahwa aku telah memaafkan hal-hal yang terjadi di antara aku dan kalian. Adapun  yang terjadi antara Allah Azza wa Jalla dengan kalian adalah urusan kalian. Dan sesungguhnya bagiku amalku dan bagi kalian amal kalian!.”

Sejarah menceritakan, bahwa pada hari-hari terakhirnya, Rasulullah Saw. pada suatu malam keluar sendirian menuju kuburan baqi’. Beliau berdo’a untuk penghuni kuburan tersebut, kemudian menoleh kepada para sahabatnya seraya bersabda: “Sesungguhnya pada setiap tahun, Jibril mengulangi al-Qur’an kepadaku satu kali, tetapi pada tahun ini Jibril mengulanginya dua kali. Aku mengira bahwa maut sudah mendekatiku. Maka bagi siapa yang aku berjanji kepada seseorang, hendaknya dia menyampaikannya untuk aku penuhi; dan barangsiapa telah meminta sesuatu kepadaku (untuk membayarkan utangnya), maka hendaknya ia datang untuk aku bayarkan utangnya!.” Kemudian beliau melanjutkan pembicaraannya dengan mengatakan: “Hai manusia, sesungguhnya tidak ada nasab di antara Allah dan seseorang, dan tidak ada suatu perintah yang mendatangkan kebaikan atau menjauhkan darinya kejahatan selain amal shaleh. Ketahuilah, janganlah di antara kalian ada orang yang mengaku-aku, dan janganlah ada pengharap yang mengharap-harap. Demi Yang mengutusku dengan benar, tidak ada yang dapat menyelamatkan selain amal shaleh dan rahmat; dan sekiranya aku berbuat maksiat, sungguh berarti aku telah tersungkur. Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan!?.”

Imam ‘Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. mempunyai seorang saudara bernama Zaid an-Nar, yang perilakunya tidak beliau senangi. Ketika Imam sedang duduk di atas batu besar, berbincang-bincang di majelisnya, Zaid hadir di situ. Manakala beliau sedang berbincang-bincang, beliau menoleh kepada Zaid yang sedang bercerita kepada sebagian hadirin; berulangkali ia (Zaid) membangga-banggakan nasabnya kepada Nabi Saw. yang mulia dengan mengatakan: “Kami adalah ….. dan …….”. Maka Imam-pun memotong pembicaraannya dan berkata kepadanya:

“Wahai Zaid, apakah perkataan penjual makanan Kufah telah memperdayaimu. Sesungguhnya Fathimah telah menjaga kehormatannya, maka Allah haramkan keturunannya dari neraka; demi Allah, tidak lain itu hanyalah untuk Hasan dan Husain, dan putra keturunannya yang khusus. Adapun apabila Musa bin Ja’far mentaati Allah, berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari, sedangkan engkau berbuat maksiat kepada-Nya, kemudian kalian berdua datang bersama-sama pada hari kiamat, maka apakah dengan begitu engkau lebih mulia dari padanya di sisi Allah?. Bukankah ‘Ali bin Husain berkata: bahwa orang-orang yang baik di antara kita, seperti Fulan, akan diberi pahala, dan mereka yang berbuat jelek di antara kita dosanya akan digandakan!?.”

Hasan al-Wasya’ berkata: “Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata: “Wahai Hasan, bagaimana engkau membaca ayat ini:
قَالَ يَانُوْحٌ, اِنَّهُ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ, اِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ .

“Qoola yaa nuh, innahu laysa min ahlika, innahu ‘amalun ghayru shalihin?”.

Aku menjawab: “Di antara sebagian orang ada yang membacanya:
اِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ .

(innahu ‘amalun ghayru shalihin)

Dan di antaranya ada yang membacanya:
اِنَّهُ عَمَلُ غَيْرِ صَالِحٍ .

(innahu ‘amalu ghayri shalihin).

Sehingga artinya menjadi: “dia bukan putramu dan bukan dari nuthfahmu, sesungguhnya dia adalah anak zina.”

Imam Ridha a.s. berkata: “Tidak!. Ia putranya, tetapi ketika dia berbuat maksiat kepada Allah Swt., maka Allah menafikannya dari ayahnya. Begitu juga di antara kita. Siapa yang tidak menta’ati Allah, maka dia tidak termasuk kami, dan apabila engkau menta’ati Allah, maka engkau termasuk kami, Ahlul-Bayt!.”

Iya, jadi, Allah tidak akan pilih kasih. Seluruh manusia di mata Allah adalah sama, hanya ketakwaan yang membuatnya istimewa, bukan nasab atau keturunan. Sebagaimana firman-Nya:

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيْـرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَإِنَّهُ مِنِّيْ وَمَنْ عَصَـانِيْ فَإِنَّـكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ .
“Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari pada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 58

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثَى وَجَعَلْنَـاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا؛ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَـاكُمْ؛  إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْـرٌ .

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” 59

Rasulullah Saw. juga bersabda yang artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya ayah kalian itu satu. Tuhan kalian itu satu. Setiap kalian adalah anak Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidaklah seorang arab boleh membanggakan diri atas orang yang bukan arab kecuali dengan takwa.”

Maksudnya, asal dan nasab semua manusia adalah dari tanah. Dengan begitu, orang arab tidak boleh merasa istimewa dan tidak boleh berbangga-bangga atas orang selain arab kecuali dengan ketakwaan.

Ketika Salman mencari kebenaran dengan pencarian yang ikhlas, maka sampailah ia kepada kedudukan yang tinggi, sehingga Nabi yang mulia menyebutnya: “Salman minna ahlal-bayt!.”Artinya, Salman adalah termasuk kami, Ahlul-Bayt.

Sungguh disayangkan, jika ada dzurriyyah Rasulullah Saw. kok berada di bawah pengaruh setan, dikhayalkan oleh setan, sekaligus ditipunya, sehingga mengatakan, bahwa: “Sesungguhnya kami adalah dzurriyyah Rasulullah, maka apapun yang kami lakukan, kami tetap menjadi penghuni surga. Bahkan, jika kami mendapatkan sebagian harta dengan cara yang tidak benar (halal) pun, maka tidaklah perlu bagi kami untuk menyesalinya!.”

Seharusnya mereka mengetahui, bahwa mereka sedang memandang dengan mata yang buta. Kelainan benar-benar telah menutupi pandangan mereka. Mereka baru akan sadar jika nanti telah tenggelam di dalam siksa Allah. Na’udzu billah!.

Semoga Allah Swt. memberikan kekuatan lahir maupun batin kepada kita, terutama para habaib yang mulia, demi memperjuangkan kebenaran yang dibawa oleh Nabi agung Muhammmad Saw. dan Ahlul Baitnya  as. Mudah-mudahan, kelak kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang beruntung dan memperoleh syafa’at beliau, sehingga selamat dari dunia hingga ke akhirat. Amien.

Memang, semenjak abad ke 13 hingga abad ke 14, mungkin juga sampai sekarang, para Habaib ini banyak yang mengalami kemunduran, terutama dalam bidang ilmu agama. Sebagaimana hal ini dikatakan sendiri oleh Sayyid Muhammad Ahmad Asy-Syathiri, yakni ketika beliau memberikan khutbahnya di rumah Sayyid al-Faqih al-Muqaddam di daerah Terim, Hadramaut, Yaman. Dan memang, yang melatar belakangi keadaan seperti itu, di antaranya adalah: Karena suramnya sejarah yang menyakitkan yang dialami oleh kakek-kakek mereka. Namun demikian, menurut pengamatan kami juga, sekarangpun sudah banyak para Habaib yang sedang mulai bersemangat kembali untuk mendalami Ilmu-ilmu agama. Dan semoga saja hal ini berlanjut terus sampai hari kiamat kelak. Sehingga, kebenaran ajaran Rasulullah Saw. akan segera nampak dan memberikan kedamaian hidup di dunia menuju akhirat. Amin.

Baiklah saudaraku, kita akhiri kajian kita ini dengan sebuah sya’ir yang diucapkan oleh seorang Ulama’ besar Ahli Tafsir, yaitu Imam Syeikh Zamakhsari, yang mana pada zaman beliau, juga telah beredar bermacam-macam aliran, dan semuanya juga mengaku benar. Inilah sya’irnya:

كَثُرَ الشَّكُّ وَالْخِلاَفُ فَكُلٌّ ()
يَدَّعِي الْفَوْزَ بِالصِّرَاطِ السَّوِيِّ ()
فَأعْتِصَامِيْ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ سِوَاهُ ()
ثُمَّ بِحُبِّي ِلإَحْمَدَ وَعَلِيِّ ()
فَازَ كَلْبٌ بِحُبِّ أَهْلِ كَهْفٍ ()
فَكَيْفَ أَشْقَى بِحُبِّ آلِ النَّبِيِّ ()

- “Banyak keraguan dan perselisihan.
- Semua mengaku, bahwa jalannyalah yang lurus dan menyelamatkan.
-  Maka, aku berpegang dengan tiada Tuhan selain Allah.
- Dan mencintai Ahmad (Nabi) dan Ali.
- Sungguh seekor anjing bisa selamat (masuk Surga) dengan sebab mencintai Ash-Habul Kahfi.
- Maka bagaimana aku bisa celaka, dengan sebab mencintai keluarga Nabi.”

-          “Bagaimanakah sejarah hidup para keturunan Nabi Saw. yang menyebabkan mereka mengalami keadaan seperti itu?.
-          Dan bagaimana pula sejarah para Imam dari Ahlul Bait Nabi Saw. yang suci itu?.”

Insya Allah, pada kesempatan lain kita kaji bersama.

 Wassalamu’alaikum wr. wb.


58 QS. 14 ayat 36.
59 QS. 49 ayat 13.