Rabu, 04 Mei 2016

Unknown

BSM | Makalah Keenam

Membedah Shirathal Mustaqiem 1

Akal Bisa Dijadikan Dalil

Saudaraku.

Akal yang bisa dijadikan sebagai dalil adalah: “Akal yang dapat menghasilkan pemikiran, namun hasil pemikirannya itu tidak mendahului kebenaran dan tidak pula membelakangi kebenaran”.

Yang dimaksud dengan mendahului kebenaran adalah: Seorang pemikir yang telah menyimpulkan kebenaran sesuatu, namun ia belum sampai kepada titik kesimpulan yang sesungguhnya. Nah, hasil pemikiran seperti ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil, dan belum bisa dikatakan sebagai akal yang benar.

Hal semacam ini banyak dialami oleh kebanyakan manusia, sehingga ia merasa, bahwa hasil pemikirannyalah yang benar, padahal ia belum sampai pada satu titik kebenaran yang sesungguhnya, melainkan baru sampai pada tingkat bayang-bayang kebenaran. Memang, ia seperti benar, padahal ia tidaklah benar, atau hanya mirip benar, atau benar menurut dugaannya sendiri. Dengan kata lain, ia telah menyimpulkan hasil pemikirannya, akan tetapi hasil pemikiranya itu belum diuji dengan dalil aqli dan dalil naqli.

Adapun yang dimaksud dengan membelakangi kebenaran adalah: Seorang pemikir yang telah mengambil satu kesimpulan dari pemikirannya, akan tetapi kesimpulannya itu melecehkan kebenaran. Artinya, bertentangan dengan kebenaran yang sesungguhnya. Dengan kata lain, seorang pemikir yang telah menyimpulkan hasil pemikirannya, namun hasil pemikiran yang ia simpulkan itu sangat bertentangan dengan dalil aqli dan dalil naqli.

Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan, bahwa hasil pemikiran yang telah mendahului kebenaran itu disebut sebagai “Kejahilan”. Sedang hasil pemikiran yang telah membelakangi kebenaran itu disebut sebagai “Pengingkaran”.

Saudaraku.

Menurut firman Allah Swt. di dalam al-Qur’an, akal itu dapat dijadikan sebagai dalil. Dengan kata lain, akal adalah merupakan suatu anugerah dari Allah Swt. yang cukup hebat, karena dengan akal-lah sehingga manusia dapat dibedakan dengan makhluk yang lain.
Di samping itu, akal juga merupakan alat untuk menyampaikan kebenaran, dan sekaligus sebagai pembukti dan pembeda antara yang benar dengan yang tidak benar, serta apa yang ditemukan olehnya dapat dipastikan kebenarannya, asal saja persyaratannya dilengkapi.

Ada lima faktor yang disebutkan oleh al-Qur’an, yang dapat memperbesar kesalahan kerja akal dalam menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, bila lima faktor ini kok dijalankan, maka hasil dari pemikiran akal tersebut dijamin tidak akan benar. Yaitu:

1. Lebih mengutamakan dugaan daripada hal-hal yang pasti.

Artinya, akalnya digunakan hanya untuk menduga-duga saja, bahkan hasil dugaannya itu lebih diutamakan daripada kepastiannya.

Allah Swt. memperingatkan:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ()

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” 1

Misalnya: Ada orang mengatakan, bahwa Allah Swt. itu berada di langit, di surga, di ‘Arsy, dapat ditemui, dan semacamnya, maka hal ini pasti merupakan hasil dugaannya saja. Sebab, jika demikian, maka akan dipertanyakan, bahwa manakah yang lebih dulu, antara Allah dengan langit, surga dan arsynya itu?. Dengan kata lain, yang menempati dengan yang ditempati itu lebih dulu yang mana?. Jika lebih dulu tempatnya, berarti Allah tadinya belum ada, lalu siapa yang mengadakannya?; dan siapa pula yang mengadakan tempatnya?. Dan lalu siapa pula yang menempatkan Allah di situ?. Padahal Dia yang mengadakan atau yang menciptakan segala sesuatu, termasuk sorga, langit, ‘Arsy dan lain sebagainya. Di samping itu, jika demikian, maka akan dapat dimengerti, bahwa surga, langit, ‘Arsy, dan apa saja yang Ia gunakan sebagai tempat adalah lebih besar daripada-Nya. Sebab, tempat pasti lebih besar daripada yang menempatinya. Na’udzubillah min dzalik!.

Allah Swt. berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً ()

“Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya.” 2

2. Mengikuti jejak nenek moyangnya, lalu menerima begitu saja segala yang klasik (cerita lama), tanpa disertai dengan pembuktian.

Artinya, akal digunakan untuk menerima begitu saja apa yang diterangkan oleh nenek moyangnya, tanpa diteliti terlebih dahulu kebenarannya.

Allah Swt. berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَيَهْتَدُونَ

“Dan bila dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang diterangkan oleh Allah Swt., mereka menjawab: “tidak!, akan tetapi, kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami!.” Apakah mereka akan mengikuti juga, walau nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk?.” 3

Banyak di antara manusia yang mengikuti begitu saja apa yang dikatakan oleh para pendahulunya, sekalipun akalnya meragukannya, namun mereka tidak bisa dan tidak berani untuk menolaknya, lantaran hal itu telah dipercayai kebenarannya secara turun temurun hingga beberapa generasi, apalagi hal itu telah tercatat dalam kitab-kitab atau buku-buku kuno mereka.

3. Mengikuti dorongan hawa nafsu, atau kepentingan-kepentingan pribadi.

Artinya, pertimbangan hawa nafsu dan kepentingan pribadinya lebih didahulukan daripada kebenaran akalnya.

Allah Swt. berfirman:

إِنْ هِيَ إِلاَّ أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى اْلأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى ()

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapakmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan sesuatu keteranganpun untuk menyembahnya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan dan apa yang di ingini oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya, telah datang petunjuk pada mereka dari Tuhan mereka.” 4

4. Terpengaruh oleh figur-figur atau tokoh-tokoh tertentu, dengan tanpa pembuktian kepada figur atau tokoh tersebut.

Artinya, akalnya terpengaruh oleh pendapat-pendapat seorang tokoh atau figur-figur tertentu, tanpa diteliti lebih dahulu apakah tokoh atau figur tersebut bisa dipercaya kejujuran dan kebenarannya atau tidak.

Allah Swt. berfirman:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ ()

“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami!, sesungguhnya kami telah menta’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.” 5

Misalnya, ada seorang yang mengaku, atau dianggap sebagai Ulama’, Kyai, Ustadz, Ajengan, atau apapun istilahnya, lalu mereka mengatakan begini dan begitu, kemudian langsung saja diterima dan dipercaya. Padahal, belum dibuktikan tentang kebenaran status mereka. Artinya, apakah mereka itu memang pantas dan layak untuk di ikuti, ditaati, dianuti atau tidak. Apa kedudukan mereka dalam Islam ini?. Apakah mereka orang yang ditunjuk oleh Sang pemilik Islam, yakni Allah Swt., sebagai penyambung risalah-Nya?. Apakah mereka sebagai wakil Allah atau Nabi-Nya?. Siapa yang menyuruh agar mempercayai, mentaati, dan mengikuti mereka?. Dan seterusnya.

5. Tergesa-gesa dalam membenarkan atau mengingkari sesuatu, tanpa terlebih dahulu dibuktikan, apakah sesuatu itu memang benar atau salah.

Artinya, akalnya digunakan dengan tergesa-gesa untuk menyimpulkan kebenaran sesuatu, yang padahal sesuatu itu belum dibuktikan akan kebenarannya. Atau menyalahkan sesuatu, yang padahal sesuatu itu belum dibuktikan akan kesalahannya.

Jadi, bila kita mempunyai akal, kemudian kok salah dalam menggunakannya, sebagaimana kita gunakan dengan salah satu saja dari lima faktor di atas, apalagi kok semuanya, maka kita pasti akan gagal dalam menemukan kebenaran.

Al-Qur’an Bisa Di Jadikan Dalil

Saudaraku.

Dalil naqli yang bisa dijadikan sebagai dalil adalah al-Qur’an. Yaitu, kalam Ilahi yang suci. Sebab, al-Qur’an adalah si penerang dan si penjelas sesuatu. Seluruh isi dan kandungannya adalah merupakan kebenaran mutlak; seluruh pemahaman yang sesuai dengannya adalah keyakinan yang benar. Akan tetapi, apapun bentuknya, kok bertentangan dengan maksud al-Qur’an, atau tidak sesuai dengan maksud al-Qur’an, maka ia adalah bathil, dan tidak bisa dikatakan sebagai dalil yang benar, karena yang demikian itu memang bukan-lah dalil.

Misalnya: Sebuah hadits, atau perkataan seorang Ulama’, Kyai, Ajengan, Ustadz, atau apa saja istilahnya, walaupun mereka itu banyak yang menyebutnya sebagai “Wali”, yang bisa terbang, bisa menghilang, dan banyak lagi pengikutnya, namun bila bertentangan atau tidak sesuai dengan maksud al-Qur’an, maka hal itu tidak boleh dijadikan sebagai dalil untuk menentukan kebenaran.

Apabila yang demikian itu kok dipaksakan sebagai dalil, maka yang benar akan sulit untuk diketahui. Dan Islam akan bermacam-macam ragamnya. Dan dengan demikian, maka kita akan sulit untuk membedakan antara Islam yang benar dengan Islam yang seperti benar, namun tidak benar, atau hanya mirip benar. Ingat!, patokan kita adalah: “Sesuatu bisa disebut benar, apabila sesuai dengan Dalil Aqli dan Dalil Naqli!”.

Dan sebagai bukti, bila al-Qur’an itu dapat dijadikan sebagai dalil adalah, bahwa dalam usianya yang telah mencapai 14 abad lebih, yang melintasi sejarah kehidupan umat manusia dalam segala lapisannya, al-Qur’an tidak pernah dikoreksi atau dilengkapi, karena memang isinya selalu mendahului perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, pada setiap zaman.

Nah, dari sekelumit tinjauan di atas, akhirnya dapat kita fahami, bahwa kenapa umat Islam hingga saat ini kok berpecah belah, bergolong-golongan, bermadzhab-madzhab, beraliran aliran dan sebagainya, hal itu adalah dikarenakan “Akibat dari kecerobohan umat Islam sendiri dalam menempatkan dalil atau alasan”. Artinya, untuk menentukan suatu kebenaran, mereka menggunakan dalil atau alasan yang padahal ia adalah bukannya dalil atau alasan untuk menentukan sebuah kebenaran.

Selanjutnya, al-Qur’an sebagai dalil naqli, adalah merupakan sebuah standar kesucian dan sebuah tolok ukur kebenaran mutlak. Namun demikian, apabila kita tidak menggunakan akal atau ilmu dalam mengetahuinya, maka kebenaran dan kesuciannya tidak akan dapat kita ketahui. Sebaliknya, tanpa menggunakan akal atau ilmu yang benar, maka kita juga tidak akan bisa memahami dan meyakini, bahwa al-Qur’an itu adalah benar adanya.

Jadi, seandainya al-Qur’an itu diibaratkan sebagai isi, maka akal diibaratkan sebagai wadahnya. Dan bila al-Qur’an tersebut suci, maka mustahil al-Qur’an yang suci itu akan ditampung oleh wadah yang kotor, karena akal yang kotor tidak mungkin akan mampu memahami al-Qur’an yang suci itu. Begitu pula sebaliknya, akal yang suci mustahil mau menerima isi yang kotor, karena akal yang suci hanya butuh dengan isi yang sesuai dengan kesucian pula, yaitu al-Qur’an.

Dari uraian tersebut, maka kita bisa memahami, bahwa kadar akal atau ilmu manusia dalam memahami al-Qur’an itu berbeda-beda, tergantung dari kadar kesucian akalnya masing-masing. Semakin tinggi kadar kesucian akalnya, maka semakin tinggi pula kemampuannya dalam memahami al-Qur’an.

Manusia yang mempunyai kadar kesucian yang menyeluruh dan mutlak, pasti akan mampu memahami al-Qur’an secara menyeluruh dan mutlak pula. Nah, kadar kesucian yang tinggi, menyeluruh dan mutlak ini, hanya dimiliki oleh orang-orang suci yang telah disucikan oleh Allah Swt.. Orang-orang tersebut di antaranya adalah Rasulullah Saw. dan orang-orang suci lainnya yang telah diberitakan oleh Allah Swt. di dalam kitab suci al-Qur’an. Sebagaimana firman-Nya:

اِنَّهُ لَقُرْاَنٌ كَرِيْمٌ () فِيْ كِتَابٍ مَكْنُوْنَ () لاَ يَمَسُّـهُ إِلاَّ الْمُطَهَّـرُوْنَ ()

“Sesungguhnya al-Qur’an adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara. Tidak akan dapat memahami isi kandungan al-Qur’an secara menyeluruh, kecuali orang-orang yang disucikan.” 6

Dari ayat tersebut, maka dapat diketahui, bahwa hanya orang-orang suci yang disucikan oleh Allah Swt. sajalah yang mampu menampung dan memahami seluruh isi kandungan al-Qur’an yang suci itu.

- Nah, siapakah mereka itu?.
- Di manakah mereka?.

Iya, Insya Allah, saudaraku akan segera dapat memukannya. Karenanya, kita teruskan kajian kita hingga selesai, jangan sampai bosan!.

Sebuah Analogi

Saudaraku.

Mungkin anda kaget, kenapa penafsiran ayat 79 surat al-Waqi’ah di atas kok tidak seperti tafsir-tafsir pada umumnya?. Sedang pada umumnya tidaklah demikian tafsirnya.

Iya, karenanya, mari kita kaji bersama.

Memang, penafsiran ayat 79 surat al-Waqi’ah tersebut, di antara kaum muslimin telah terjadi perbedaan. Sebagian mengartikannya begini: “Janganlah kamu menyentuh al-Qur’an, bila kamu tidak mempunyai wudhu’ (berwudhu’ dulu).” Alasannya:

-. Huruf Laa pada ayat tersebut, sekalipun menurut para ahli Ilmu nahwu dan shorof atau ahli tata bahasa arab, bahwa Laa tersebut adalah merupakan huruf nafi, yang artinya adalah “tidak”, namun ia bermakna nahi, yang artinya adalah “jangan”, jadi Laa Nafi bimakna Nahi. Sehingga artinya menjadi “jangan”.
-. Sedang Lafadz Yamassuhu, sekalipun menurut para ahli nahwu dan shorof, bahwa lafadz tersebut adalah merupakan kalimat fi’il mudhari’ dan ber-dhamir-kan huwa, yang berarti dhamir ghaib, sehingga bermakna ia menyentuhnya, namun hal itu bimakna mukhothob, yakni tamassuhu, sehingga maknanya menjadi “kamu menyentuhnya”.
-. Dan huruf Il-laa, adalah memang merupakan huruf istitsna’, yang artinya kecuali.
-. Adapun lafadz al-Muthohharun, sekalipun menurut para ahli nahwu dan shorof, bahwa ia adalah merupakan Isim maf’ul, yang berarti dikenai pekerjaan, yang mana artinya adalah orang-orang yang disucikan, namun karena tidak ada wujudnya, artinya (kata mereka), tidak ada orang-orang yang disucikan itu, hanya Nabi-lah manusia yang suci itu, karenanya, hal ini harus ditakwil (dicari makna lain) menjadi Isim Fa’il, yakni menjadi al-Mutathohhiruun, yang berarti orang-orang yang melakukan pekerjaan, yakni berwudhu’.

Nah, sehingga dengan demikian, maka mereka mengartikannya menjadi begini: “Janganlah kamu menyentuh al-Qur’an kecuali kamu dalam keadaan berwudhu’.” Dan kemudian, dijadikanlah ayat ini sebagai dasar (dalil) bagi mereka tentang haramnya menyentuh al-Qur’an dengan tanpa berwudhu’ terlebih dahulu.

Namun, sebagian yang lain mengartikannya begini: “Tidak akan dapat menyentuh al-Qur’an, melainkan hamba-hamba yang disucikan.” Alasannya:

-. Huruf Laa pada ayat tersebut adalah tetap dianggap sebagai huruf nafi dan bermakna nafi, tidak bermakna nahi, sehingga tetap berarti “tidak”.
-. Lafadz Yamassuhu, juga tetap dianggap sebagai Fi’il mudhari’ yang berdhamirkan gho’ib (huwa), sehingga artinya tetap “ia menyentuhnya.”
-. Sedang huruf Il-laa, mereka juga tetap menganggapnya sebagai huruf istitsna’, yang berarti kecuali.
-. Adapun lafadz al-Muthohharun, juga tetap dianggapnya sebagai Isim Maf’ul, yang berarti dikenai pekerjaan, sehingga artinya menjadi: “Hamba-hamba yang disucikan.” Namun, yang dimaksud dengan hamba-hamba yang disucikan di sini adalah: “Para malaikat.”

Maka dari itu, golongan ini mengartikannya menjadi begini: “Tidak akan dapat menyentuhnya (al-Qur’an), kecuali para malaikat.” Sehingga dengan demikian, maka golongan ini tidak mengharamkan orang yang menyentuh al-Qur’an walaupun dengan tanpa berwudhu’ dulu.

Golongan pertama membantahnya begini: “Jika memang demikian, nyatanya saya yang bukan malaikat kok dapat menyentuhnya!?.”

Golongan yang kedua menjawab: “Ooo, yang dimaksud dengan al-Qur’an pada ayat tersebut adalah bukan al-Qur’an yang ada di hadapan kita ini, akan tetapi al-Qur’an yang ada di Lauhil mahfudz.”

Golongan yang pertama menjawab lagi begini: “Jika yang dimaksud adalah al-Qur’an yang ada di Lauhil mahfudz, maka, itu mah nggak usah diomong!, sebab kita pasti tidak mungkin bisa menyentuhnya. Di samping itu, bukankah al-Qur’an ini buat kita!?, bukan buat malaikat!. Buat apa diomong begitu!?. Oleh karena itu, ayat ini harus kita takwil menjadi al-Mutathohhiruun.”

Duh saudaraku, melihat kenyataan seperti ini, kadang-kadang di hati kami timbul pertanyaan begini:

-. La iya, apakah al-Qur’an ini (ayat tersebut) belum pernah dijelaskan tafsirnya oleh Rasulullah Saw.?.
-. Apakah dulu, ketika beliau Saw. menerima wahyu al-Qur’an (ayat tersebut), kemudian beliau hanya menyampaikan bunyi wahyunya saja, atau bunyi lafadznya saja, dan tanpa menjelaskan maksudnya?.
-. Atau, apakah begini kira-kira: Ketika para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah!, siapakah yang dimaksud dengan al-Muthohharun pada surat al-Waqi’ah ayat 79 tersebut?.” Mungkinkah beliau menjawab: “Pikir sajalah sendiri, terserah kalian, bagaimana saja menurut pendapat kalian!.” Mungkinkah demikian!?.

Kita pasti yakin seyakin-yakinnya, bahwa Rasulullah Saw., sebagai utusan Allah, pasti telah menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya. Sebab tugas beliau adalah sebagai penjelas apa yang dimaksud dari setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt. kepadanya, yakni al-Qur’an. Agar mausia dapat menggunakannya sebagai petunjuk dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini demi mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.

Sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِـدًا وَمُبَشِّرًا وَّنَـذِيْرًا؛ وَ دَاعِيـًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِـهِ وَسِـرَاجًا مُنِيْـرًا .

“Hai Nabi!, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi”. 7

رُسُلاً مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْـذِرِيْنَ لِئَلاَّ يَكُوْنَ لِلنَّـاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةٌ بَعْـدَ الرُّسُلِ؛ وَكَانَ اللهُ عَزِيْزًا حَكِيْمـًا.

“Mereka, Kami (Allah) utus selaku rasul-rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. 8

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْـرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إلَى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ.

“Ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha perkasa lagi Maha terpuji”. 9

كَانَ النَّاسُ أُمَّـةً وَاحِـدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّيْنَ مُبَشِّرِيْنَ وَ مُنْذِرِيْنَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوْهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْياً بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللهُ يَهْدِى مَنْ يَشَآءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ .

“Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. 10

إِنَّآ أَنْزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ أَرَاكَ اللهُ وَلاَ تَكُنْ لِّلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا .

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. 11

Nah, dengan demikian, berarti telah ada penjelasan dari beliau itu, artinya tafsir al-Qur’an menurut Rasulullah Saw.. Namun sayang, kebanyakan dari kita tidak pernah menemukannya. Maasya Allah!.

Baiklah saudaraku, mari kita lanjutkan kajian kita. Sebelum kami memaparkan dan menjelaskan tentang orang-orang suci yang mampu menampung dan memahami al-Qur’an secara menyeluruh dan mutlak, terlebih dahulu kami akan menyampaikan kepada anda sebuah analogi, yang Insya Allah dengan analogi ini, akan dengan mudah membantu anda untuk dapat segera menemukan siapa orang-orang yang suci tersebut.

Analogi antara seorang pembuat atau pencipta sebuah mesin dengan Allah Swt. sebagai pencipta mesin raksasa, yaitu langit dan bumi beserta isinya.

Begini, katakan, ada seorang Insinyur dari negara Jepang. Ia membuat atau mencipta sebuah mesin mobil yang bernama “Toyota”.

Nah, setelah mesin mobil itu jadi, pasti sang Ir. Jepang tersebut mengeluarkan sebuah buku petunjuk tentang bagaimana cara memakai atau menjalankan mesin mobil yang bernama “Toyota” itu. Bahkan bukan hanya cara pakainya saja, akan tetapi, pasti juga bagaimana cara memperbaiki mesin mobil tersebut bila terjadi kerusakan. Dan begitulah seterusnya.

Di samping buku petunjuk tersebut, pasti Sang Ir. Jepang juga telah membentuk atau menunjuk tenaga-tenaga ahlinya yang sudah ia persiapkan dengan matang dan penuh perhitungan, agar mereka menjelaskan tentang persoalan Mesin mobil Toyota tersebut kepada siapa saja yang membutuh kannya.

Dan selama Sang Ir. Jepang itu masih menghendaki adanya produk mesin mobil yang bernama Toyota tersebut, maka sudah barang tentu, di saat tenaga ahli yang pertama itu mati, pasti dia akan menggantinya dengan tenaga ahli selanjutnya, bahkan sebelumnya ia pasti telah mempersiapkannya.

Terkecuali, sang Ir. Jepang tersebut memang sudah tidak menghendaki lagi adanya produk mesin mobil yang bernama Toyota itu. Nah, maka sudah barang tentu, ia pasti tidak akan mengganti tenaga ahlinya yang mati itu, dan ia pasti tidak akan mempersiapkan tenaga-tenaga ahli selanjutnya. Sebab, untuk apa mereka?. La wong pabriknya saja sudah tidak ada. Apalagi mesin mobilnya.

Persoalannya sekarang, bagaimana seandainya mesin mobil Toyota dan buku petunjuknya itu difahami oleh orang-orang yang bukan ahlinya?. Kemudian mereka menerangkan begitu saja kepada siapa saja yang membutuhkan mesin mobil Toyota tersebut sesuai dengan fahamanya masing-masing. Apa kira-kira yang bakal terjadi?.

Iya, anda pasti yakin, bahwa mesin mobil tersebut pasti jadi “rusak”. Walaupun yang menerangkannya orang yang pandai berbahasa Jepang, apalagi tidak, tentunya pasti “lebih rusak”.

Nah, sekarang, Allah Swt. telah menciptakan mesin raksasa yang berupa langit dan bumi beserta isinya. Setelah langit dan bumi ada, Allah Swt. juga telah mengeluarkan buku petunjuk bagaimana cara menjalankan, mengelola, dan memperbaiki mesin raksasa-Nya itu bila terjadi kerusakan. Buku petunjuk tersebut salah satunya adalah Kitab Suci al-Qur’an.

Di samping Allah Swt. mengeluarkan buku petunjuk tersebut, Dia juga telah membentuk, mengeluarkan, atau menugaskan dan melantik tenaga-tenaga ahlinya yang betul-betul telah faham terhadap isi dari mesin raksasa-Nya itu, dan juga faham akan maksud dari isi buku petunjuk-Nya (kitab suci) tersebut. Nah, para tenaga ahli tersebut adalah para Nabi dan Rasul, di antaranya adalah Nabi kita Muhammad Saw..

Dan selama mesin raksasa yang berupa langit dan bumi beserta isinya ini masih dikehendaki adanya oleh Allah Swt., maka sudah barang tentu, Ia pasti selalu memperbaharui tenaga-tenaga ahli-Nya, bila tenaga ahli yang pertama itu wafat, bahkan sebelumnya, Ia pasti telah mempersiapkan pengganti-penggantinya yang akan memimpin dunia ini dan menerangkan buku petunjuk yang berupa kitab suci (al-Qur’an) tersebut kepada siapa saja yang ingin menggunakan mesin raksasa ini.

Terkecuali, Allah Swt. sudah tidak menghendaki lagi adanya langit dan bumi beserta isinya ini. Maka tidak akan diperlukan lagi adanya tenaga-tenaga ahli yang akan memimpin dunia ini, atau menjaganya dari kehancuran, karena dunianya sendiri sudah tidak ada; Dan itu berarti: “Kiamat”.

Persoalannya sekarang, coba anda bayangkan, bagaimana seandainya langit dan bumi beserta isinya ini, dipimpin oleh orang-orang yang bukan ahlinya?, artinya bukan orang yang ditunjuk oleh Allah Swt.; dan kitab suci tersebut (al-Qur’an) diterangkan atau dijabarkan begitu saja oleh orang-orang yang bukan ahlinya?, artinya orang-orang yang tidak mendapatkan mandat dari Allah Swt., apa kira-kira yang bakal terjadi?.

Iya, anda pasti yakin, bahwa dunia ini pasti akan menjadi kacau balau, seperti sekarang ini. Begitu pula, bila al-Qur’an kok diterangkan atau dijabarkan oleh orang-orang yang bukan ahlinya, artinya orang-orang yang tidak mendapatkan mandat secara sah dari Allah Swt., maka pengertian dan pemahamannya pasti tidak karu-karuan. Walaupun mereka pandai berbahasa arab, apalagi tidak, tentunya akan amat sangat terlalu tidak karu-karuan. Sebab, al-Qur’an memang hurufnya huruf arab, dan berbahasa arab, akan tetapi ia bukan bahasa orang arab.

Dengan analogi ini, kami yakin, bahwa anda pasti dapat dengan mudah untuk memahaminya. Karena itu, mestinya kita tidak perlu lagi untuk merubah atau mentakwil Laa nafi menjadi Laa nahi segala, atau lafadz Yamassuhu menjadi Tamassuhu, serta lafadz al-Muthohharun menjadi al-Mutathohhirun, atau diartikan sebagai para malaikat.

Akan tetapi, mestinya cukup dengan mengembalikan atau bertanya kepada al-Qur’an itu sendiri (atau bagi yang hidup disaat itu kepada Nabi sendiri). Yakni, siapakah yang dimaksud dengan al-Muthohharun itu wahai al-Qur’an?. Sebab, al-Qur’an itu di antara ayat-ayatnya, pasti saling berkaitan, saling menjelaskan dan saling mendukung, mustahil kok saling bertentangan.

Padahal, ayat Laa Yamassuhu Il-lal Muthohharun itu (“Tidak akan menyentuh al-Qur’an kecuali orang-orang yang disucikan”), jika kita perhatikan dengan seksama, maka ia adalah merupakan statemen, atau pernyataan dari Allah Swt., bahwa al-Qur’an itu tidak dapat disentuh kecuali oleh orang-orang yang disucikan.

Nah, jika Allah Swt. mengatakan, bahwa “Tidak akan menyentuh al-Quran”, berarti di sini ada kata menyentuh, dan ada pula yang disentuh. Lalu, yang disentuh itu apa?. Iya, yang disentuh adalah al-Qur’an. Berarti, menyentuh al-Qur’an.

Sekarang, mari kita berfikir:

- Al-Qur’an itu sebenarnya apa?.
- Mengapa kok disentuh?.
- Lalu menyentuhnya pakai apa?.
- Dan bagaimana caranya?.

Iya, sebagaimana kita ketahui, bahwa al-Qur ’an adalah merupakan “Wahyu”. Nah, wahyu itu apa?. Siapa yang tahu tentang wahyu tersebut?. Seperti apakah dia?. Apa isinya?. Bagaimana maksudnya?. Dan seterusnya. Adalah jelas, bahwa yang tahu persis seratus persen adalah tentu yang menerimanya. Yaitu Rasulullah Saw. sendiri. Beliaulah yang tahu tentang bentuknya wahyu itu seperti apa. Rasanya terima wahyu itu bagaimana?, isi dan kandungannya bagaimana?, dan sebagainya.

Di samping itu, di dalam Surat al-Baqarah ayat 2, Allah Swt. telah menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Dengan demikian, berarti yang namanya petunjuk adalah sesuatu yang harus difahami. Dan karena petunjuk itu harus difahami, maka jelas, bahwa ayat yang menyatakan bahwa: “Tidak akan menyentuh al-Qur’an”, adalah berarti bukan menyentuh dengan memakai tangan, sebab, yang disentuh adalah bukan benda materi melainkan non materi, sebab, sebuah petunjuk adalah merupakan sesuatu yang berbentuk non materi. Karena itu, makna menyentuh di sini pasti bukan menyentuh pakai tangan, melainkan memahami, yakni menyentuh dengan akal pikiran. Coba anda berfikir, mungkinkah sebuah petunjuk kok menyentuhnya pakai tangan!?.

Sesuatu yang berbentuk materi, memang menyentuhnya bisa pakai tangan, atau memakai pancaindera, akan tetapi, kalau sesuatu itu kok berbentuk non materi, seperti “wahyu” (petunjuk), maka jelas, menyentuhnya pasti tidak bisa pakai tangan, atau pancaindera, melainkan harus memakai pemahaman, yang berarti harus difahami. Dan ketika memahami, maka pasti dengan menggunakan akal fikiran. Nah, menyentuh pakai akal fikiran ini namanya pasti bukan menyentuh, akan tetapi pasti memahami. Karena itu, jika sebuah petunjuk kok disentuhnya pakai tangan, atau pancaindera, maka sudah pasti petunjuk tersebut mustahil bisa dimengerti.

Hal itu ibaratnya sama seperti sebuah pernyataan seorang guru kepada para muridnya: “Anak-anak, “Peganglah omongan saya!”. Nah, kira-kira memegang omongan itu bagaimana?. Memakai apa memegangnya?. Ya, tentu maksudnya adalah “Pahamilah”.”

Wahyu adalah bukan barang yang kelihatan mata. Wahyu sifatnya adalah non-materi, sebab, ia merupakan petunjuk. Karena wahyu sifatnya adalah non-materi, karena dia adalah merupakan petunjuk, dan petunjuk itu sifatnya adalah non-materi, maka menyentuhnya jelas harus pakai alat non materi pula, yaitu akal, sebab yang bisa disentuh oleh akal adalah hanya yang non-materi. Non-materi hanya dapat disentuh dengan yang non-materi pula.

Karena itu, lafadz Laa Yamassuhu di ayat tersebut, arti yang pas adalah: “Tidak akan dapat memahami al-Qur’an.” Bukan menyentuh seperti pendapat dua golongan di atas. Sebab, yang disentuh di sini adalah al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi manusia. Bukan kitab al-Qur’an, atau tulisan al-Qur’an. Apalagi kok diartikan menyentuh al-Qur ’an yang ada di Lauhil Mahfudz segala, memangnya menyentuhnya itu bagaimana?. Dan dari mana mereka tahu ada al-Qur’an di Lauhil mahfudz?. Di mana letaknya Lauhil mahfudz itu?. Hal itu, tidak perlu dikatakan kepada kita manusia, sebab, manusia manapun pasti tidak akan mampu menyentuh al-Qur’an yang katanya ada di Lauhil mahfudz itu. Apalagi, Lauhil mahfudz sendiri tidak ada yang pernah melihatnya, dan tidak pula mengetahui di mana adanya. Karena itu, mustahil Allah Swt. Yang Maha Bijak kok berkata demikian!.

Baik, sekarang mari kita fahami lafadz Il-lal Muthohharun, yang artinya: “Kecuali orang-orang yang disucikan.”

Dari pembahasan di atas, sementara kita dapat mengartikan ayat tersebut menjadi: “Tidak akan dapat memahami al-Qur’an, kecuali orang-orang yang disucikan.”

Kenapa kok hanya orang-orang yang disucikan saja yang dapat memahami al-Qur’an?. Siapa orang-orang yang disucikan itu?.

Iya, hal ini di sebabkan oleh kesucian al-Qur’an itu sendiri. Sebab, al-Qur’an adalah merupakan wahyu dari Allah Swt., Dzat Yang Maha Suci, yang tidak mungkin ada kesalahan di dalamnya. Nah, karena ia suci, maka yang mampu memahami kesuciannya adalah hanya orang-orang yang akalnya suci saja. Orang yang tidak suci akalnya, mustahil dapat memahami al-Qur’an yang suci itu. Yakni, suci pemahamannya, artinya ia jauh dari kekeliruan dan kesalahan, dan tidak kecampuran oleh kepentingan hawa nafsunya. Karena itu, manusia yang mampu memahami wahyu (al-Qur’an) yang suci itu adalah orang-orang yang akalnya suci. Dan merekalah yang disebut dengan “Al-Muthohharun” itu.

Kemudian, siapakah orang-orang Muthohharun itu?.

Iya, mereka itu di antaranya adalah Rasulullah Saw.. Makanya, di dalam sejarah disebutkan, bahwa sebelum Nabi Saw. diangkat menjadi Nabi, beliau telah dipersiapkan oleh Allah Swt. menjadi manusia yang suci. Artinya, suci dari kebohongan, nggak pernah berkhianat, selalu jujur, hingga mendapatkan gelar al-Amin dari kaumnya. Artinya orang yang dapat dipercaya. Dan setelah itu, barulah Allah Swt. menurunkan wahyu-Nya yang suci kepada Nabi yang sudah dalam keadaan suci tersebut. Sehingga, beliau dapat memahami isi dan kandungan dari wahyu (al-Qur’an) yang suci itu.

Sekarang kita tinggal berfikir dan mencari:

-          Siapakah orang-orang yang suci yang dapat memahami ayat-ayat suci al-Qur’an selain Nabi Saw. tersebut?.
-          Siapakah orang-orang yang mendapatkan mandat dari Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagai penafsir dan penjabar al-Qur’an setelah Rasulullah Saw. tiada?.
-          Jika ada, di manakah mereka itu?.
-          Jika tidak ada, lalu siapakah yang dimaksud dengan al-Muthohharun itu?.
-          Mungkinkah Allah berbohong?. Artinya, berbicara tapi buktinya tidak ada. Naudzubillah. Hal ini pasti mustahil!.




1 QS. al-An’am :  116.
2 QS. Al-Isra :  36.
3 QS. Al-Baqarah : 170.
4 QS.An-Najm : 23.
5 QS. Al-Ahzab : 67.
6 QS. Al-Waqiah : 77-78-79.
7 QS. Al-Ahzab ayat 45-46
8 Q.S. 4:165.
9 Q.S. 14:1.
10 Q.S. 2:213.
11 Q.S. 4:105.