Minggu, 08 Mei 2016

Unknown

BSM | Makalah Kedelapan

Makalah membedah shirathal mustaqiem bagian dua

SIAPAKAH AHLUL BAIT?

 Saudaraku.

Kata “ahlul bait”, jika menurut bahasa, maka berarti famili atau keluarga dekat, dan bisa juga diartikan untuk istri. Adapun menurut penggunaan umum, maka kata “ahlul bait” itu berarti seluruh keluarga dekat, termasuk paman, bibi, anak-anak paman, anak-anak bibi, serta anak cucu seseorang.

Namun, yang dimaksud dengan “Ahlul Bait” sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur‘an surat al-Ahzab ayat 33 tersebut adalah: “Keluarga terdekat Rasulullah Saw.”. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Saw. sendiri di dalam sebuah haditsnya (hadits asbabun nuzul), yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi yang berasal dari Isteri beliau sendiri yang bernama Ummu Salamah r.a.

Ummu Salamah berkata: “Ayat sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan dosa atau kotoran dari kamu “hai Ahlul Bait” dan mensucikan kalian sesuci-sucinya, adalah turun di rumahku untuk Rasulullah. Ketika itu, aku sedang duduk di sebelah pintu. Aku bertanya: “Ya Rasulullah!, bukankah aku juga termasuk dari ahlul baitmu?.” Beliau menjawab: “Engkau dalam kebaikan, engkau adalah dari isteri-isteriku.” Ketika itu, Rasulullah bersama dengan Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husein. Kemudian beliau memasukkan mereka di bawah sorban beliau, seraya bersabda: “Ya Allah, merekalah Ahlul Bait-ku, maka hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.”

Di samping itu, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Zaid bin Arqam ra., yang artinya: “Suatu hari, Rasulullah Saw. berpidato di hadapan kami, yaitu di dekat danau yang bernama Khum, yang terletak di antara Mekah dan Madinah. Setelah beliau memuji Allah, maka beliau mulai menasihati kami dan bersabda: “Wahai manusia!; Aku tak ubahnya seorang manusia juga, mungkin utusan Tuhanku (Malaikat Izra‘il), akan segera datang memanggilku. Ketahuilah, bahwa aku meninggalkan kepada kalian dua benda berharga, yaitu: Kitabullah (al-Qur’an) yang mengandung cahaya dan bimbingan, maka ambillah Kitab Allah itu dan berpeganglah padanya.” Kemudian beliau meneruskan sabdanya: “Dan ahlul baitku. Aku memperingatkan kalian tentang Ahul Baitku; Aku memperingatkan kalian tentang Ahlul Baitku; Aku memperingatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” (beliau menyebutkannya hingga 3 x). Perawi Hadits bertanya kepada shahabat Zaid bin Arqam. Siapakah yang dimaksud dengan ahlul bait Rasul itu?, adakah isteri-isteri beliau termasuk ahlul baitnya?. Sahabat Zaid bin Arqam menjawab: “Tidak!, Demi Allah!, seorang isteri hidup bersama suaminya untuk beberapa waktu, dan ketika dicerai, ia kembali kepada kaumnya sendiri.”

Dua buah hadits di atas, mengandung satu pengertian yang sangat jelas, bahwa walaupun kata Ahlul Bait itu dapat diartikan buat siapa saja yang menghuni rumah seseorang, termasuk para isteri, namun Allah Swt. dan Rasul-Nya telah membatasi arti dari Ahlul Bait tersebut, yaitu hanya pada sejumlah pribadi dari keluarga beliau Saw. yang terdekat, yang pada masa itu terbatas pada:

1. Rasulullah Saw. sendiri.
2. Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi).
3. Fathimah (putri Nabi).
4. Hasan (cucu Nabi).
5. Husein (cucu Nabi juga).

Di samping itu, juga diterangkan dalam beberapa riwayat hadits, bahwa setelah ayat 33 surat al-Ahzab itu turun, Nabi Saw. sering mendatangi rumah Fathimah untuk mengucapkan kalimat berikut ini:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ؛ اَلصَّلاَةَ يَرْحَمْكُمُ اللهِ؛ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِـيْرًا ()

“Selamat dan sejahtera kepadamu wahai Ahlul Bait, mari shalat, semoga Allah merahmati kalian. Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan noda dari kalian dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.”

Hal ini beliau lakukan hingga 17 bulan lamanya. Sebagaimana yang diterangkan oleh seorang Ulama‘ yang bernama Syeikh Abul Hasan bin Abu Bakar al-Haitsami dalam kitabnya yang bernama Majma‘ al-Zawaid. Yaitu sebuah pernyataan yang berasal dari Sahabat Abu Barzah al-Aslami, bunyinya adalah sbb:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا؛ فَإِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ أَتَى بَابَ فَاطِمَـةَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ؛ فَقَالَ اَلصَّلاَةَ عَلَيْكُمْ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِـيْرًا .

“Aku shalat bersama Rasulullah Saw. selama 17 bulan. Setiap beliau keluar dari rumah, beliau selalu mendatangi pintu (rumah) Fathimah, sambil berkata: “Rahmat Allah atas kalian, sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.”

Tindakan tersebut dilakukan oleh beliau, agar orang-orang yang mempunyai hati busuk, hasut dan sesat, tidak mempunyai jalan untuk menyalah tafsirkan maksud dari kandungan ayat tersebut, dan tidak lagi memiliki bukti-bukti yang mendukung atas penyimpangannya itu.

Lagi pula, perlu diketahui, bahwa pengertian dari “ahlul bait” yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya di atas, adalah “Para pembimbing kepada kebenaran, penyelamat dari kesesatan, yang posisinya berada sejajar dengan al-Qur’an, dan tidak akan menyimpang dari al-Qur’an tersebut, serta sifat-sifat yang lain yang tidak mungkin dimiliki oleh siapapun selain mereka, walaupun dari isteri-isteri beliau sendiri. Bukan hanya sekedar keluarga Nabi Saw..

Begitulah, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa Ahlul Baitlah manusia yang dijamin benar dan disucikan oleh Allah Swt. sesuci-sucinya.

Di samping beberapa hadits di atas, di dalam kitab suci al-Qur’an, juga telah diceriterakan tentang adanya suatu peristiwa yang menerangkan, bahwa Rasulullah Saw., Ali, Fathimah, Hasan dan Husein, adalah manusia yang paling mulia di muka bumi ini.

Yaitu, ketika beliau kedatangan beberapa orang Nasrani dari negeri Najran yang mempersoalkan tentang kisah Isa al-Masih as.. Mereka bermaksud menyanggah akan kebenaran-kebenaran yang diberitakan oleh al-Qur’an mengenai kisah tersebut. Beliau menerangkan kepada mereka, bahwa Isa Al-Masih itu adalah putra Maryam dan diangkat oleh Allah Swt. sebagai Nabi dan Rasul-Nya, bukan anak-Nya. Dengan sabar beliau menjelaskannya, namun mereka tetap membantah dan mengatakan, bahwa pendapat merekalah yang benar. Kemudian beliau mendapat wahyu dari Allah Swt. sebagai senjata pamungkas untuk menjawab orang-orang Nasrani tersebut, yaitu:

فَمَنْ حَآجَّكَ فِيْهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ, فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَآئَنَا وَأَبْنَآئَكُمْ وَنِسَآئَنَا وَنِسَآئَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَ كُمْ, ثُمَّ نَبْتَهِلْ, فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللهِ عَلَى الْكَاذِبِيْنَ ()

“Maka barangsiapa yang membantahmu tentang kisah Isa al-masih, sesudah datang ilmu yang meyakinkan kamu, maka katakanlah kepadanya: “Marilah kita panggil (kumpulkan) anak-anak kami dan anak-anak kalian, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian. Lalu, marilah kita memohon kepada Allah Swt., supaya Allah menjatuhkan kutukan-Nya kepada orang-orang yang berbohong.” 25

Kemudian, kedua belah fihak sepakat untuk secara bersama-sama memohon kepada Allah Swt. supaya menjatuhkan kutukan-Nya (laknat dan siksa kepada fihak yang berbohong). Dan untuk keperluan tersebut, kedua belah fihak telah menetapkan tempat dan waktunya.

Ketika waktu yang telah ditentukan tiba, Rasulullah Saw. keluar sambil mengajak orang-orang yang terdekat dan yang dipandang paling mulia dan paling terhormat. Mereka itu terdiri dari: Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husein, kedua cucu beliau. Beliau berjalan menggendong Husein yang ketika itu masih kanak-kanak, dan sambil menggandeng Hasan yang sudah agak besar. Di belakang beliau berjalan Fathimah dengan memakai kerudung. Sedang Ali bin Abi Thalib berjalan di belakang Fathimah.

Dalam waktu yang bersamaan, keluar pula dua orang Nasrani Najran yang mengajak anak-anak mereka yang semuanya memakai pakaian dan perhiasan yang serba indah, serta diikuti oleh prajurit berkuda dari Bani al-Harits.

Segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan sedemikian rupa. Dan sekarang, kedua belah fihak telah bertemu di sebuah tempat yang disaksikan oleh orang banyak yang hatinya berdebar-debar, karena menunggu peristiwa penting apa yang bakal terjadi.

Setelah masing-masing fihak telah siap, maka dua orang Nasrani Najran itu mendekati Rasul Saw. dengan air muka kebingungan dan gelisah. Mereka bertanya kepada beliau: “Hai Abal Qasim! (panggilan untuk beliau Saw. yang berarti ayahnya Qasim, karena beliau punya putra yang bernama Qasim, namun meninggal ketika masih kecil), siapakah orang-orang yang anda ajak untuk saling kutuk-mengutuk dengan kami?.” Beliau menjawab: “Dalam kutuk mengutuk dengan kalian sekarang ini, aku mengajak orang-orang yang terbaik di muka bumi ini dan termulia di sisi Allah Swt.” Sambil mengucapkan jawaban yang demikian ini, beliau menunjuk kepada Ali, Fathimah, Hasan dan Husein.

Sambil merasa keheran-heranan, dua orang wakil Nasrani Najran itu bertanya lagi: “Apa sebabnya anda tidak mengajak serta orang-orang besar, gagah dan tampan dari golongan pengikut anda?.” Rasul Saw. menjawab: “Ya, dalam kutuk mengutuk dengan kalian ini, kami telah mengajak orang-orang penghuni bumi yang terbaik dan makhluk Allah yang paling utama!.”

Orang Nasrani itu terpukau, hati mereka jadi kecut dan cemas. Kemudian mereka pergi menghadap pemimpin mereka, yaitu seorang Uskup. Uskup yang bernama Abu Haritsah itu, dengan perasaan terpengaruh oleh kewibawaan Rasul Saw. dan keluarganya, ia berkata: “Aku telah menyaksikan sendiri wajah-wajah mereka (Rasul dan keluarganya). Jika di antara mereka itu kok ada yang memohon kepada Allah, agar gunung-gunung itu dipindahkan dari tempatnya, maka Allah pasti akan memindahkannya!.”

Dan setelah berhenti sejenak, Uskup itu melanjutkan perkataannya: “Tidakkah kalian melihat!?. Muhammad mengangkat tangannya ke atas ketika ia menjawab pertanyaan kalian!?. Benarlah apa yang dikatakan oleh Isa al-Masih: “Jika orang itu mengatakan perkataan dari mulutnya, maka kita tidak akan kembali lagi bertemu dengan keluarga dan harta benda kita!.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Uskup itu berkata lagi dengan suara yang keras: “Haaaiii ......!. Apakah kalian tidak melihat matahari itu telah berubah warnanya ...!?. Bukankah di ufuk sana telah penuh dengan awan tebal ....!?. Angin hitam dan merah sudah mulai bertiup kencang, dan gunung-gunung itu telah mengepulkan asap tinggi menjulang langit. Lihatlaah..!. Burung-burung sudah berterbangan pulang ke sarangnya masing-masing di atas pepohonan!. Lihatlaah....!. Dedaunan telah gugur berjatuhan, dan tanah di bawah telapak kaki kita sudah mulai goncang ...!.”

Saudaraku, sungguh Allah Maha Besar. Orang-orang Nasrani tersebut benar-benar  tenggelam di bawah pengaruh wajah-wajah suci itu.
Dan akhirnya, mereka mempercayai akan kemuliaan Rasulullah Saw. beserta keluarganya di sisi Tuhannya. Mereka terpesona dan menundukkan kepala di depan beliau dan keluarganya.

Saat itu beliau bersabda: “Siksa Allah akan jatuh menimpa orang-orang Nasrani itu. Jika bukan karena ampunan Allah, maka mereka pasti akan dijelmakan menjadi kera dan babi. Bagi mereka, lembahpun akan berubah menjadi api. Allah akan memusnahkan daerah Najran beserta penduduknya, termasuk burung-burung yang ada di atas pepohonan, dan semua yang ada pada mereka.” Demikianlah !.

Di samping itu, ada sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Turmudzi dari sahabat Sa‘ad bin Abi Waqqas, yang menerangkan tentang sebab-sebab turunnya ayat 61 surat al-Imran tersebut, yang artinya adalah sbb: “Ketika turun ayat: “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu, dan seterusnya ..., Rasul Saw. memanggil Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husein. Kemudian beliau bersabda: “Ya Allah, merekalah ahlul baitku!.”

Jadi sekali lagi, walaupun kata ahlul bait itu dapat diartikan dengan keluarga Rasul Saw. termasuk isteri-isterinya, namun Allah Swt. dan Rasul-Nya telah menentukan, bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait itu adalah: Rasulullah Saw., Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husein.

Selanjutnya, sebagaimana telah kita fahami, bahwa orang-orang yang memimpin umat ini harus ada pada setiap zaman, dan harus ditunjuk oleh Allah Swt. sendiri dan Rasul-Nya, guna memimpin dunia ini hingga akhir zaman tiba. Padahal, beliau-beliau itu, saat ini sudah tidak ada semua. Nah, apakah setelah Husein itu masih ada orang-orang yang suci dan benar yang akan menjadi pemimpin selanjutnya hingga sekarang ini?. Bila ada, siapakah mereka itu?. Bagaimana bila tidak ada?.

Saudaraku, sebelum kami menyebutkan nama-nama orang suci yang akan menjadi pemimpin atau Imam setelah Husein, lebih dahulu kami akan menyampaikan beberapa hadits mengenai kepemimpinan umat setelah Nabi Saw. tiada. Yang seharusnya memang dipegang oleh “Ahlul Bait beliau.”

Di antaranya adalah:

أَخْرَجَ التِّرْمِذِىُّ وَحَسَّنَهُ وَالْحَاكِمُ عَنْ زَيْدِ ابْنِ أَرْقَامٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِى كِتاَبَ اللهِ وَعِتْرَتِيْ أَهْلَ الْبَيْتِ وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَىَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوْا كَيْفَ تَخْلُفُوْنِيْ فِيْهِمَا .

Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Imam Hakim dari sahabat Zaid bin Arqam, ia berkata: bahwa Rasul Saw. bersabda: “Sungguh aku tinggalkan padamu, apa yang dapat mencegahmu dari kesesatan setelah kepergianku, selama kamu berpegang teguh padanya, yaitu: Kitabullah dan ‘Itrahku (keluargaku) Ahlul Baitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya berjumpa denganku di telaga (di akhirat). Maka berhati-hatilah dengan perlakuanmu atas keduanya, sepeninggalku nanti.”

اَخْرَجَ عَبْدُ ابْنِ حُمَيْدٍ فِيْ مُسْنَدِهِ عَنْ زَيْدِ ابْنِ ثَابِتٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  (ص) إِنِّيْ تَارِكٌ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ بَعْدِى لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي وَإِنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَىَّ اْلحَوْضَ .

Diriwayatkan oleh Abdu bin Humaid dari Zaid bin Tsabit ia berkata: “Rasul Saw. bersabda: “Sungguh, aku tinggalkan padamu apa yang dapat mencegahmu dari kesesatan setelah kepergianku, selama kamu berpegang teguh padanya, yaitu: “Kitabullah dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku”. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga datang kepadaku di telaga.”

Hadits tersebut juga ditulis oleh Syekh al-Muttaqi al-Hindi di dalam kitabnya yang bernama Kanzul-‘Ummal Juz I halaman 166.

اَخْرَجَ اَحْمَدُ وَأَبُوْ يَعْلَى عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ اَلْخُذْرِىِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ وَ إِنِّيْ أُوْشِـكُ أَنْ اُدْعَى فَأُجِيْبُ؛ وَإِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِيْ أَهْلَ بَيْـتِيْ وَأِنَّ اللَّطِيْفَ الْخَبِيْرَ خَبَّرَنِيْ اِنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ اْلحَوْضَ فَانْظُرُوْا كَيْفَ تَخْلُفُوْنِيْ فِيْهِمَـا .

“Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Ya‘la dari Abu Said al-Hudzri ra.; Sesungguhnya Rasul Saw. bersabda: “Aku merasa akan segera dipanggil oleh Allah Swt., dan aku akan memenuhi panggilan itu, maka aku tinggalkan padamu dua benda berharga, yaitu: “Kitab Allah dan ‘Itrahku”, dan sesungguhnya Allah yang Maha mengetahui telah berfirman kepadaku, bahwa keduanya tidak akan berpisah, sehingga keduanya datang menjumpaiku di telaga. Oleh karena itu, perhatikan!, bagaimana perlakuanmu atas kedua peninggalanku itu.”

اَخْرَجَ اِبْنُ عَدِىِّ فِي اْلكَامِلِ عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ اَلْخُذْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) مَنْ اَبْغَضَنَا أَهْلَ اْلبَيْتِ فَهُوَ مُنَافِقٌ .

Dari Ibnu ‘Ady dalam kitabnya yang bernama Al-Kamil, ia meriwayatkan dari Abu Sa‘idz al-Hudzri yang berkata, bahwa Rasul Saw. bersabda: “Barangsiapa yang membenci kami, Ahlul Bait, maka dia adalah munafiq.”

اَخْرَجَ اِبْنُ حِبَّانٍ فِي صَحِيْحِهِ وَاْلحَاكِمُ عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ اَلْخُذْرِىِّ قَالَ؛ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُبْغِضُنَا أَهْلَ اْلبَيْتِ رَجُلٌ إِلاَّ اَدْخَلَهُ اللهُ النَّـارَ .

Ibnu Hibban dan al-Hakim dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Abu Sai‘d al-Hudzri ia berkata, bahwa Rasul Saw. bersabda: “Demi yang jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun membenci kami, Ahlul Bait, kecuali akan dimasukkan oleh Allah Swt. ke neraka”.

اَخْرَجَ الطَّبْرَانِىُّ فِي اْلأَوْسَطِ عَنْ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ؛ خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ (ص) فَسَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُوْلُ أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ اَبْغَضَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ حَشَرَهُ اللهُ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَهُوْدِيـًّا .

Diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath dari Jabir bin Abdillah ia berkata: “Rasul Saw. berpidato di hadapan kami, maka aku mendengarnya beliau bersabda: “Wahai manusia!, barangsiapa membenci kami, Ahlul Bait, Allah akan kumpulkan ia pada hari kiamat sebagai orang Yahudi.”

اَخْرَجَ الطَّبْرَانِىُّ فِى اْلاَوْسَطِ عَنِ الْحَسَنِ ابْنِ عَلِىٍّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ أِلْزَمُوْا مَوَدَّتَناَ أَهْلَ الْبَيْتِ؛ فَاِنَّهُ مَنْ لَقِيَ اللهَ تَعَالَى وَهُوَ يَوَدُّنَا دَخَلَ الْجَنَّةَ بِشَفَعَتِنَا وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَنْفَعُ عَبْدًاعَمَلٌ عَمَلَهُ إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ حَقِّنَا

Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari Hasan bin Ali as., bahwa Rasul Saw. bersabda: “Mantapkanlah dirimu pada kecintaan kepada kami, Ahlul Bait, sebab, barangsiapa yang menghadap Allah sedang ia mencintai kami, niscaya ia masuk surga dengan syafa‘at kami. Demi Allah yang diriku di tangan-Nya, tidak akan berguna amal seseorang bagi dirinya, kecuali bila ia mengetahui hak-hak kami.”

اَخْرَجَ اِبْنُ أَبِىْ شَيْبَةَ وَمُسَدَّدُ فِيْ مُسْنَدِهِمَا وَالْحَاكِمُ وَالتِّرْمِذِىُّ فِيْ نَوَادِرِ اْلأُصُوْلِ وَأَبُوْ يَعْلَى وَالطَّبْرَانِىُّ عَنْ سَلَمَـةَ ابْنِ اَلأَكْوَعْ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  (ص) اَلنُّجُوْمُ أَمَانٌ ِلأَهْلِ السَّمَاءِ وَ أَهْلُ بَيْـتِيْ أَمَانٌ ِلأُمَّتِـيْ .

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Musaddad dalam musnadnya, Imam Hakim, Imam Turmudzi dalam Nawadirul Ushul, Abu Ya’la dan Imam Thabrani dari Salamah bin Al-Akwa’ ia berkata: bahwa Rasul Saw. bersabda: “Bintang-bintang di langit adalah petunjuk keselamatan bagi penghuni langit. Dan Ahlul Baitku adalah penyelamat bagi Umatku.”

اَخْرَجَ اَلْبَزَّارُ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) مِثْلُ أَهْلِ بَيْتِيْ كَمَثَلِ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَ فِيْهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ .

Al-Bazzar meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra. ia berkata: bahwa Rasul Saw. bersabda: “Perumpamaan atau kedudukan Ahlul Bait-ku itu seperti kapalnya Nabi Nuh, barangsiapa yang naik di dalamnya, ia akan selamat, dan barangsiapa yang enggan dan terlambat, ia akan celaka.”

اَخْرَجَ الْحَاكِمُ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  (ص) اَلنُّجُوْمُ أَمَانٌ ِلأَهْلِ اْلأَرْضِ مِنَ الْغَرَقِ وَأَهْلُ بَيْتِيْ أَمـَانٌ ِلأُمَّتِيْ مِنَ اْلاِخْتِلاَفِ فَإِذَا خَالَفَتْهُمْ قَبِيْلَةٌ اِخْتَلَفُوْا فَصَارُوْا حِزْبَ إِبْـلِيْسَ .

Imam Hakim meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra. ia berkata: bahwa Rasul Saw. bersabda: “Bintang-bintang di langit adalah petunjuk keselamatan bagi penghuni bumi dari bahaya tenggelam, dan Ahlul Baitku adalah penyelamat bagi umatku dari bahaya perselisihan dan perpecahan (dalam urusan agama), bila salah satu kabilah menyeleweng dan menentang, niscaya mereka akan bercerai-berai dan menjadi kelompok Iblis.”

اَخْرَجَ الطَّبْرَانِىُّ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَعَنْ مَالِهِ فِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمِنْ أَيْنَ اِكْتَسَبَهُ، وَعَنْ حُبِّنَا أَهْلِ الْبَيْتِ .

Imam Thabrani meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas r.a. ia berkata: bahwa Rasul Saw. bersabda: “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat, sebelum ia ditanya dan menjawab empat pertanyaan: 1. Tentang usianya, untuk apa ia menghabiskannya. 2. Tentang tubuhnya, bagaimana ia telah menggunakan tenaganya. 3. Tentang hartanya untuk apa dibelanjakan dan dari mana ia mendapatkannya. 4. Serta tentang kecintaannya pada kami, Ahlul Bait.”

اَخْرَجَ اَلدَّيْلَمِىُّ عَنْ عَلِىٍّ قَالَ؛ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) أَدِّبُوْا أَوْلاَدَكُمْ عَلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ: حُبِّ نَبِيِّكُمْ وَحُبِّ أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ؛ فَاِنَّ حَمَلَةَ الْقُرْآنِ فِيْ ظِلِّ اللهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّـهُ, مَعَ أَنْبِيـآئِهِ وَ أَصْفِيآئِـهِ .

Ad-Dailami meriwayatkan dari Ali as., bahwa Rasul Saw. bersabda: “Didiklah anak-anakmu atas tiga perkara: 1. Kecintaan kepada Nabimu. 2. Kecintaan kepada Ahlul Bait Nabimu 3. Membaca al-Qur‘an. Sesungguhnya, pengemban al-Qur‘an berada di bawah naungan Allah, di mana tiada naungan pada hari itu kecuali pada naungan Allah, ia bersama para Nabi dan para Washinya atau orang-orang pilihan-Nya.”

Jadi, sebenarnya umat Islam ini tidak perlu pusing untuk mencari bimbingan keselamatan hidup dari dunia hingga akhirat, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya telah jauh-jauh hari sebelumnya, mempersiapkan dan menunjuk orang-orang yang seharusnya dijadikan pemimpin dan pembimbing umat setelah Nabi Saw. tiada, yaitu Ahlul Baitnya.

Saudaraku, sebagaimana kita ketahui, bahwa Nabi Saw. itu adalah Nabi yang terakhir, dan tidak ada Nabi lagi sesudah beliau. Dan beliau menjadi Nabi tidak hanya untuk orang-orang Arab saja, akan tetapi untuk seluruh umat manusia di dunia, termasuk kita. Dan ajaran Islam yang beliau bawa itu, juga bukan buat orang-orang Arab saja, melainkan buat seluruh umat hingga akhir zaman tiba. Namun, usia beliau Saw. tidak sampai pada hari kiamat, sehingga kita tidak dapat menerima secara langsung ajaran Islam ini dari beliau. Oleh karena itu, untuk meneruskan ajaran Islam ini agar sampai ke seluruh dunia hingga akhir zaman tiba, maka dibutuhkan adanya orang-orang yang dapat dipercaya, agar kita dalam menerimanya tidak keliru dan tidak salah, melainkan sungguh-sungguh benar seperti dari sumber aslinya.

Selanjutnya, perlu diketahui juga, bahwa pengganti Nabi Saw. untuk memimpin umat ini bukan untuk menjadi Nabi baru, akan tetapi hanya sebagai Imam atau Pemimpin. Sebab, sekali lagi kami katakan, bahwa “Tidak ada Nabi lagi setelah Nabi kita Muhammad Saw!.”

Nah, karena Imam adalah sebagai pengganti Nabi, atau sebagai orang yang meneruskan tugas berat seorang Nabi, maka Imam tersebut harus dijamin kesucian dan kebenarannya, karena apabila tidak, maka akan menyebabkan kotornya ajaran Islam setelah ditinggal oleh Nabinya.

Karena itulah, sehingga orang-orang yang benar dan suci tersebut, digelari sebagai “Ahli Dzikir” atau “Ahli al-Qur’an”. Kepada merekalah manusia diperintahkan oleh Allah Swt. untuk bertanya tentang isi dan kandungan al-Qur’an. Sebab, merekalah yang mampu menguasainya. Merekalah “Ahlinya al-Qur’an” dan “Guru al-Qur’an”, karena itu, kita diwajibkan berguru dan mengikuti mereka. Sebab, mereka adalah merupakan al-Qur’an yang hidup, yang dapat ditanya dan dimintai bimbingan.

Sebagaimana diriwayatkan, bahwa: “Akhlaq orang-orang yang suci itu adalah akhlak al-Qur’an”; Seluruh aktifitas hidup mereka adalah al-Qur’an. Seluruh gerak jiwa dan raganya adalah benar, benar yang memiliki kebenaran mutlak. Dan nilai kemutlakannnya mencerminkan kemutlakan al-Qur’an. Karena itulah, seluruh perilaku mereka mempunyai bobot yang sama dengan bobotnya al-Qur’an. Sehingga, seluruh sunnah mereka, perkataan, perbuatan dan sikapnya, bisa dijadikan sebagai dalil Naqli.

Nabi Saw. bersabda:

عَلِىٌّ مَعَ اْلقُرْآنِ يَدُوْرُ حَيْثُ دَارَ .

“Ali berputar bersama al-Qur’an, di mana saja Ia berada.”

Dengan demikian, manusia yang akalnya belum suci atau tidak suci seperti kita ini, sangat memerlukan adanya bimbingan dan pimpinan dari manusia-manusia yang akalnya telah disucikan. Yang selanjutnya, kita disebut sebagai makmum atau yang dipimpin, dan para Imam dari Ahlul Bait itu disebut sebagai Imam atau Pemimpin.




25 QS. Al-Imran : 61.