ISYARAT NABI SAW.
Saudaraku.
Sebelum peristiwa pelantikan Imam Ali bin Abi Thalib as. sebagai Penerima wasiyat dan Khalifah pengganti Nabi Saw. di Ghodir Khum, sebenarnya Nabi Saw. sudah sering memberikan isyarat dan pernyataan, bahwa dia (Imam Ali) adalah memang sebagai pengganti beliau. Hal ini dapat kita ketahui dari sejarah kehidupan beliau dan sejarah kehidupan Imam Ali as. sendiri.
Siapapun yang cukup mengerti tentang riwayat hidup Rasulullah Saw. semenjak pertama beliau membangun dasar-dasar pemerintahan Islam dan mengatur hukum-hukumnya, membina asas-asasnya, membuat undang-undangnya dan mengatur semua persiapan yang berkaitan dengannya, yang beliau terima dari Allah Swt., pasti akan menyadari, bahwa Imam Ali adalah Wazir, menteri, atau pembantu utama beliau dalam menjalankan tugasnya. Ia selalu membela beliau dari musuh-musuhnya; Dan merupakan kepercayaannya, hasanah ilmunya, yang mewarisi pemerintahannya, putra mahkotanya, dan yang berhak menggantikan kedudukan beliau sesudah kewafatannya.
Dan siapa-pun, yang telah mempelajari dengan seksama ucapan-ucapan beliau dan tindakan-tindakan beliau, baik di tempat kediamannya maupun ketika dalam perjalanan, pasti akan menjumpai banyak sekali keterangan-keterangan yang jelas dan tegas tentang hal di atas. Hal tersebut dapat diketahui sejak dari masa permulaan dakwah sampai dengan akhir hayat beliau.
Di antaranya:
1. Ketika awal timbulnya da’wah Islamiyah di Mekah, sebelum disiarkannya untuk umum.
Pada waktu Rasulullah Saw. menerima wahyu dari Allah Swt. yang berbunyi:
وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ ()
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.”48
Beliau memberi peringatan atau mendakwahkan Islam kepada keluarganya yang terdekat. Beliau mengumpulkan sekitar 40 orang dari mereka di rumah pamannya, yaitu Abu Thalib. Dan termasuk dalam jumlah itu adalah paman-paman beliau di samping Abu Thalib, juga Hamzah, Abbas dan Abu Lahab.
Pada pertemuan itu, beliau bersabda: “Wahai putra-putra Abdul Muththalib!. Demi Allah, tidak seorangpun pemuda bangsa arab yang telah membawa untuk kaumnya sesuatu yang lebih berharga dan lebih utama daripada apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa kebaikan untuk dunia dan akhirat, dan Allah telah memerintahkan kepaku untuk menyeru kalian dan agar kalian menerimanya. Maka barangsiapa di antara kalian yang bersedia untuk memberikan dukungannya bagiku dalam urusan ini, sebagai imbalannya adalah: “Ia akan menjadi Saudaraku yang terdekat, Penerima dan Pengemban wasiatku, serta menjadi Khalifah atau Penggantiku di antara kalian!.”
Semua yang hadir diam seribu bahasa, kecuali Imam Ali ra. Padahal, pada waktu itu ia masih sangat muda sekali. Ia berdiri dan berkata dengan lantangnya: “Aku wahai Nabiyallah, yang akan menjadi pembantumu!.” Rasulullah Saw. menepuk leher Imam Ali seraya bersabda: “Inilah saudaraku, Penerima wasiatku, dan Khalifahku di antara kalian, dengarkan kata-katanya dan ta’atlah kepadanya!.”
Lalu, bangkitlah mereka itu sambil tertawa. Mereka berkata kepada Abu Thalib: “Lihatlah!, betapa ia telah memerintahmu agar mendengarkan kata-kata anakmu dan taat kepadanya!.”
2. Ketika Rasulullah Saw. bersiap-siap pergi kepeperangan Tabuk.
Ketika itu, Imam Ali r.a. bertanya kepada Nabi Saw.: “Aku pergi bersamamu Ya Rasulullah?.” “Tidak”, jawab beliau. Imam Ali menangis karena amat kecewa, tetapi Rasulullah Saw. berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak merasa puas dengan kedudukanmu di sisiku yang sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa?.” Hanya saja, tidak ada Nabi lagi sesudahku. Sungguh, tidak sepatutnya aku pergi melainkan engkau sebagai Khalifahku.” Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى ِلأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ ()
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya, yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” 49
Hal tersebut diucapkan oleh beliau tidak hanya ketika itu saja, akan tetapi pada tujuh tempat yang berbeda. Yaitu:
a. Peristiwa kunjungan Rasulullah Saw. ke rumah Ummu Sulaim. Yakni, ketika Rasulullah Saw. bercakap-cakap dengan Ummu Sulaim, yaitu seorang sahabat wanita yang termasuk dari sahabat yang terdahulu, yang bersifat amat bijaksana dan mendapat kedudukan mulia di sisi Rasulullah disebabkan oleh jasa-jasanya, keikhlasannya dan pengorbananya. Beberapakali beliau mengunjungi rumahnya dan berbincang-bincang dengannya. Dan pada suatu peristiwa, beliau berkata kepadanya: “Hai Ummu Sulaim!, sesungguhnya Ali adalah darah dagingku sendiri, seperti kedudukan harun di sisi Musa.”
b. Peristiwa yang berkenaan dengan putri Hamzah. Yakni, ketika tugas memelihara putri Hamzah diperebutkan antara Ali, Ja’far dan Zaid, lalu beliau bersabda: “Hai Ali!, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa.”
c. Peristiwa kehadiran Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah di rumah Rasulullah Saw.. Yakni, ketika beliau sedang bersandar ke tubuh Imam Ali ra., lalu beliau menepuk bahu Imam Ali dan bersabda: “Hai Ali!, engkau adalah yang terdahulu beriman di antara kaum mukminin lainnya, dan yang paling terdahulu Islamnya di antara mereka, dan kedudukanmu di sisiku sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa.”
d. Peristiwa pengukuhan tali persaudaraan yang pertama, terjadi di Mekah sebelum hijrah. Yakni, ketika Rasulullah Saw. mempersaudarakan antara kaum muslimin yang ada pada waktu itu. Dan di kemudian hari, kelompok ini dikenal dengan kelompok Muhajirin yang pertama. Beliau memilih Imam Ali untuk diri beliau sendiri.
e. Peristiwa pengukuhan tali persaudaraan yang kedua, terjadi di kota Madinah lima bulan sesudah Hijrah. Yakni, ketika Rasulullah Saw. mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dan beliau tetap memilih Imam Ali bagi diri beliau sendiri, dan menjadikannya sebagai saudara beliau di antara para sahabat yang lain, seraya beliau bersabda: “Engkau di sisiku seperti halnya kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja, tidak ada Nabi lagi sesudahku.”
f. Peristiwa ditutupnya semua pintu yang berhubungan langsung dengan Masjid Nabi Saw. kecuali pintu rumah Imam Ali ra. Yakni, ketika Rasulullah Saw. bersabda: “Hai Ali!, dihalalkan bagimu dalam Masjid seperti apa yang dihalalkan bagiku, dan engkau di sisiku sebagaimana halnya kedudukan Harun di sisi Musa., hanya saja, tidak ada Nabi setelahku.”
g. Peristiwa yang mana beliau mengibaratkan Imam Ali dan Nabi Harun sama-sama seperti sepasang bintang al-Farqodain. Yakni, ketika beliau menolak memberi nama bagi putra-putra Imam Ali selain nama-nama yang sama artinya dengan putra-putra Nabi Harun. Maka diberinya mereka dengan nama: Hasan, Husain dan Mukhsin, seraya bersabda: “Aku hanya ingin menamakan mereka dengan nama putra-putra Harun, yaitu Syabar, Syubair, dan Musybir.”
Ada Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ath-Thayalisi, sebagaimana tersebut dalam kitab al-Isti’ab bab hal ihkwal Imam Ali, yang bersumber dari sahabat Abdullah bin Abbas, ia menyatakan, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
أَنْتَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْـدِى .
“Engkau adalah Wali (Pemimpin) bagi setiap mukminin sepeninggalku!.”
3. Ketika Nabi Saw. mengutus pasukan dan mengangkat Imam Ali sebagai pemimpinnya.
Yakni, ketika pasukan muslimin memperoleh suatu kemenangan dari peperangan, Imam Ali memilih seorang jariyah (tawanan perempuan yang dijadikan budak) bagi dirinya, dan merupakan bagian dari khumus (seperlima harta rampasan perang) yang diperuntukkan baginya, akan tetapi, ada beberapa orang yang mengecamnya karena perbuatannya itu.
Ada empat di antara mereka yang sepakat untuk mengadukan Imam Ali akan hal itu kepada Rasulullah Saw. Dan setelah mereka sampai di hadapan beliau, maka salah seorang di antara mereka berkata: “Ya Rasulullah!, tidakkah anda lihat, betapa Ali telah berbuat ini dan itu?.” Beliau tidak menghiraukannya. Lalu, bangkitlah yang kedua dan berkata seperti apa yang dikatakan oleh orang yang pertama tadi. Namun beliau juga tidak menghiraukannya. Yang ketiga pun bangkit, dan mengatakan hal yang sama seperti kedua temannya tadi. Beliaupun tetap tidak menghiraukannya. Kemudian, bangkitlah yang keempat dan mengulangi apa yang telah dikatakan oleh ketiga temannya terdahulu. Maka beliau menoleh kearah mereka, dan tanda-tanda kemarahan tampak dengan jelas di wajah beliau, lalu bersabda:
مَا تُرِيْدُوْنَ مِنْ عَلِىٍّ؟. إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِيٌّ كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْـدِى .
“Apa yang sesungguhnya kalian ingini dari (hal mengadukan) Ali?, sungguh, Ali dan aku adalah satu, dan ia adalah Wali (Pemimpin) bagi setiap mukmin setelah aku!.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dalam kitabnya yang bernama al-Khashaishul ‘Alawiyyah. Dan Imam Ahmad bin hambal dalam Musnadnya Juz III halaman 111. Juga Adz-Dzahabi, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Turmudzi, dan lain lain dalam kitabnya.
4. Ketika Rasulullah Saw. mengutus dua pasukan ke Yaman.
Yakni, pada saat pasukan muslimin yang pertama dipimpin oleh Imam Ali, yang kedua oleh Khalid bin Walid, dan Nabi Saw. bersabda: “Bila kamu berkumpul, maka Ali adalah pemimpin atas semuanya, dan bila kamu berpisah, maka masing-masing menjadi pemimpin atas pasukannya.”
Salah satu pasukan tersebut mengatakan: “Dan kami berperang dengan Bani Zubaidah. Ali kemudian memilih seorang wanita tawanan perang untuk dirinya sendiri. Maka Khalid mengirim sepucuk surat untuk Rasul Saw. di tanganku, maka aku memberitahukan tentang hal itu ketika aku menemui Rasul Saw., dan surat itu kuserahkan, kemudian dibacakan untuk beliau. Pada saat itu, kulihat tanda merah di wajah beliau, cepat-cepat aku berkata pada beliau: “Ya Rasulullah!, maafkanlah aku, engkau telah mengutusku bersama seseorang, dan engkau menyuruhku agar taat kepadanya, karena itu kukerjakan apa yang diperintahkan kepadaku. Maka beliau Saw. bersabda:
لاَ تَقَعْ فِى عَلِىٍّ فَاِنَّهُ مِنِّيْ وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِيُّكُمْ بَعْـدِى وَاِنَّهُ مِنِّيْ وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِيُّكُمْ مِنْ بَعْدِى .
“Janganlah kamu mencela Ali. Sebab ia adalah (bagian) dariku, dan akupun (bagian) dari dia. Dan dia adalah Wali (Pemimpin) mu setelahku!.”
Lalu beliau mengulangi lagi:
عَلِىٌّ مِنِّيْ وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِيُّكُمْ مِنْ بَعْدِى .
“Ali adalah (bagian) dariku dan aku adalah (bagian) dari dia. Dan dia adalah pemimpinmu setelah aku!.”
Hadits ini disebutkan pula oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya Juz V halaman 347, yang berasal dari Sa’id bin Jubair dari Abdullah bin Abbas dari Buraidah.
5. Kesaksian Wahab bin Hamzah.
Wahab bin Hamzah berkata: “Aku berpergian bersama Ali, dan aku merasa kurang enak dengan sifatnya yang terlalu tegas, maka aku berkata (dalam hati), bila aku kembali, maka akan kuadukan dia!. Ketika aku berjumpa kembali dengan Rasulullah Saw, kusebutkan tentang kelakuan Ali itu, dan aku mengecamnya di hadapan beliau. Rasulullah Saw. lalu bersabda: “Jangan mengatakan itu tentang Ali, sebab dia adalah Wali (Pemimpin) mu setelah aku!.”
Demikianlah, beberapa isyarat dan pernyataan Nabi Saw. di banyak tempat yang merupakan tanda, bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah seorang calon Pemimpin atau Khalifah setelah tiadanya beliau, agar para shahabat dan kaum Muslimin memakluminya.
Sang Pemersatu Umat
Saudaraku.
Bila seluruh umat Islam ini kok bersedia mengikuti, meneladani, dan mentaati Sang Pewaris Nabi yang sesungguhnya, yakni Ahlul Bait Nabi Saw., maka pasti tidak akan terjadi perselisihan, perbedaan pendapat, saling mengkafirkan, saling menyesatkan, saling mencurigai, saling memfitnah, saling bermusuhan, saling membid’ahkan, saling mencaci, saling mendhalimi di antara mereka. Begitu pula, kejadian-kejadian seperti di atas pasti tidak akan pernah terjadi. Karena Allah dan Rasul-Nya-lah yang menjaminnya. Sebagaimana firman-firman-Nya, dan hadits-hadits Rasul-Nya di atas.
Ada sebuah perumpamaan yang mudah sekali untuk memahami jaminan Allah dan Rasul-Nya tersebut. Begini:
Seandainya anda ditanya:
-. “Apakah setiap rumah itu ada pintunya?.”
+. Pasti anda menjawab: “Ya, betul!.”
-. “Bila ada orang masuk ke rumah seseorang, namun tidak melalui pintunya, apakah namanya?.”
+. Pasti anda menjawab: “Pencuri!.”
-. “Apakah setiap pencuri itu bila masuk rumah seseorang pasti clingak clinguk lebih dulu?.”
+. Pasti anda menjawab: “Ya, betul!.”
-. “Kenapa begitu?.”
+. Pasti anda menjawab: “Karena takut ketahuan oleh yang punya rumah!.”
-. “Apakah pencuri itu bila masuk rumah seseorang pasti ngintip terlebih dahulu?.”
+. Pasti anda menjawab: “Ya, betul!.”
-. “Kenapa begitu?.”
+. Pasti anda menjawab: “Karena ingin melihat isi dari rumah tersebut!.”
-. “Nah, seandainya ada yang mengintip dari atas, yang lain dari samping kanan, yang satu lagi dari samping kiri, yang satu lagi dari sebelah utara, sedang yang satu lagi dari sebelah selatan, kemudian yang satu lagi dari sebelah timur, dan yang satu lagi dari sebelah barat, dan yang lain lagi dari tiap-tiap pojokan, dan seterusnya, maka, apakah hasil dari masing-masing orang yang mengintip itu sesuai persis dengan apa yang ada di dalam rumah seseorang tersebut?.”
+. Pasti anda menjawab: “Belum tentu, mungkin ada yang sama, mungkin ada yang mirip, dan mungkin malah ada yang bertolak belakang.”
-. “Nah, sekarang bagaimana dengan yang bukan maling, tapi ia datang dengan baik-baik kerumah seseorang tersebut, dan melalui pintunya, diberi izin oleh yang punya, ditunjukkan oleh yang punya, dan juga diridhai oleh yang punya, kira-kira, hasilnya jelasan mana dengan orang-orang yang mengintip tadi?.”
+. Pasti anda menjawab: “Ya pasti jelas yang melalui pintunya dong!. Apalagi kok ditunjukkan dan diizinkan oleh yang punya, bahkan berada di rumah itupun akan terasa tenang dan aman, karena diridhai oleh yang punya rumah tersebut.”
Saudaraku, ternyata bukan hanya masuk kerumah seseorang saja yang harus melalui pintunya, akan tetapi, dalam mencari ilmupun kita harus melalui pintunya, sebab bila tidak, maka kita pasti akan mendapatkan ilmu yang saling bertentangan.
Nah, siapakah pintunya ilmu itu?.
Pintunya ilmu adalah: “Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan Imam-Imam selanjutnya dari Ahlul Bait Nabi Saw.” Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Saw. sendiri di dalam banyak haditsnya. Di antaranya adalah:
أَنَا مَدِيْنِةُ الْعِلْمِ وَعَلِيٌّ بَابُهَا فَمَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَلْيَأْتِ الْبَابَ
“Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya. Maka, barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu, hendaknya ia mendatangi pintunya.”
أَنَا دَارُ الْحِكْمَةِ وَعَلِيٌّ بَابُهَا .
“Aku adalah rumah hikmah, dan Ali adalah pintunya.”
عَلِيٌّ بَابُ عِلْمِيْ وَمُبَيِّنٌ مِنْ بَعْدِى ِلأُمَّتِى حُبُّهُ إِيْمَانٌ وَ بُغْضُهُ نِفَـاقٌ .
“Ali adalah pintu ilmu-ku, dan yang menjelaskan sepeninggalku bagi umatku. Mencintainya adalah beriman, dan membencinya adalah kemunafikan.”
Hadits-hadits tersebut, dapat kita jumpai pada kitab-kitab hadits yang ditulis oleh para ulama’ Ahli hadits. Di antaranya adalah:
1. Imam Thabrani dari sahabat Abdullah bin Abbas. Sebagaimana terdapat dalam 104 kitab al-Jami’ush-Shaghir halaman 107, oleh Imam Jalaluddin as-Suyuti.
2. Imam Hakim dari sahabat Ibnu Abbas dan dari sahabat Jabir bin Abdullah al-Anshari. Sebagaimana terdapat dalam kitab Al Mustadrak juz III hal 226 bab Manaqib Ali.
3. Imam Ahmad bin Muhammad ash-Shadiq al-Maghribi, dalam kitabnya yang berjudul Fathul-Malik al-’Ali Bishshihhati al-Haditsi Baa bi Madinatil-Ilmi ‘Ali.
4. Imam Turmudzi, dalam kitab shahihnya.
5. Syeikh al-Muttaqi al-Hindi, dalam kitabnya Kanzul Ummal jilid VI halaman 401.
6. Syeikh Jalaluddin as-Suyuti, dalam kitab Jam’ul Jawami’ pada huruf hamzah.
7. Dan lain-lain.
Dengan demikian, jika kita ingin mendapatkan ilmu yang jelas dan benar, maka kita harus mencarinya melalui jalur yang menuju ke pintunya, yakni Imam Ali bin Abi Thalib ra. hingga ke kotanya, yaitu Nabi Saw.
Di samping perumpamaan di atas, ada lagi suatu perumpamaan yang juga mudah untuk kita pahami, yakni, jika kita ingin mengikuti dan meneladani seseorang yang kita anggap bisa untuk diikuti dan diteladani, maka tentunya kita ingin mengetahui tentang:
- “Bagaimanakah aqidahnya?; akhlaknya?; pribadinya?; shalatnya?; puasanya?; hajinya?; sikap terhadap keluarganya?; cara berpakaiannya?, makannya?, tidurnya?, dan lain sebagainya.
- Nah, kepada siapa kita akan bertanya mengenai hal-hal tersebut?.
- Apakah kita bertanya pada tetangganya?, saudara-saudaranya?, teman-temannya?, mertuanya?, keluarganya?, atau apakah malah kepada yang memusuhinya?.
Mungkin anda menjawab:
“Kepada tetangganya, bisa; Saudaranya, bisa juga; Temannya, mungkin bisa; Mertuanya, mungkin juga bisa. Keluarganya, itupun bisa juga. Yang memusuhinya, mungkin bisa juga, atau kepada yang lainnyapun bisa.”
Akan tetapi, dari sekian banyak orang itu, siapakah yang lebih banyak mengetahui tentangnya?. Mungkinkah saudaranya?, mertuanya?, teman-temannya?, keluarganya?, atau malah yang memusuhinya?.
Kami sangat yakin, pasti anda akan menjawab: “Keluarganya”. Sebab, keluarganyalah yang sangat mengetahui tentang hal ihwal dari orang tersebut pada setiap harinya. Adapun selainnya, mereka tidak banyak tahu, atau tidak tahu pasti mengenainya. Mereka hanya kadang-kadang saja mengetahuinya, yaitu ketika mereka bergaul dengannya. Apalagi yang memusuhinya, sudah pasti kita akan mendapatkan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Nah, sekarang kita akan mencontoh, meneladani, dan mengikuti perjalanan hidup Rasulullah Saw. sebagai suri tauladan dan Uswatun Hasanah, demi mencapai keridhaan Allah Swt., dan demi keselamatan hidup kita dari dunia hingga akhirat. Yang tentunya, kitapun ingin mengetahui tentang hal ihwal beliau. Misalnya: Bagaimana aqidahnya?, shalatnya?, puasanya?, dzikirnya?, hajinya?, cara makannya?, tidurnya?, pribadinya?, akhlaqnya?, nasehatnya?, wasiyatnya?, peristiwa wafatnya?. Dan lain sebagainya.
Kepada siapakah yang tepat?. Mungkinkah kepada tetangganya?, saudaranya?, teman-temannya?, mertuanya?, keluarganya?, atau apakah malah kepada yang memusuhinya?.
Kami sangat yakin, bahwa anda dengan tegas pasti akan menjawab: “Keluarganya”. Apalagi, keluarga Rasulullah Saw. telah dijamin oleh Allah Swt. dari kesalahan dan disucikan sesuci-sucinya. Namun ingat, bahwa yang dimaksud dengan keluarga Rasulullah Saw. yang dijamin pasti benar itu hanyalah 14 orang, yaitu:
1. Rasulullah Saw. sendiri.
2. Sayyidah Fathimah az-Zahra’ as.
3. Imam Ali bin Abi Thalib as.
4. Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib as.
5. Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib as.
6. Imam Ali Zainal Abidin as.
7. Imam Muhammad al-Baqir as.
8. Imam Ja’far ash-Shadiq as.
9. Imam Musa al-Kadzim as.
10. Imam Ali ar-Ridha as.
11. Imam Muhammad al-Jawwad as.
12. Imam Ali al-Hadi as.
13. Imam Hasan al-‘Askari as.
14. Imam Mohammad al-Mahdi as.
Merekalah yang pasti mengetahui tentang kedalaman rumah tangga Nabi Saw.. Oleh karena itu, kita wajib berguru, bertanya, mohon bimbingan, mengikuti dan meneladani mereka. Jangan mendahului mereka, atau ketinggalan dari mereka, apalagi kok mengajari mereka, jauh dari mereka, atau membenci mereka.
Karenanya, Nabi Saw. bersabda:
فَلاَ تَقْدُمُوْا هُمْ فَتَهْلَكُوْا وَلاَ تَقْصُرُوْا عَنْهُمْ فَتَهْلَكُوْا وَلاَ تُعَلِّمُوْا هُمْ فَإِنَّهُمْ اَعْلَمُ مِنْكُمْ .
“Maka, janganlah kamu mendahului mereka (Ahlul Bait), agar kamu tidak binasa; dan jangan ketinggalan dari mereka, agar kamu (juga) tidak binasa. Dan jangan mengajari mereka, sebab mereka itu lebih mengerti dari kamu.”12
تَعَلَّمُوْا مِنَ اْلعُلَمَاءِ أَهْـلِ بَيْتِي أَوْ مِنْ مَنْ تَعَلَّمَ مِنْهُمْ .
“Belajarlah kalian dari ulama’ Ahlul Baitku. Atau dari orang yang belajar dari ulama’ Ahlul Baitku.”
Demikianlah, sehingga seorang Ulama’ yang bernama Syeikh Nashiruddin ath-Thusi menulis dalam sya’irnya:
لَوْ أَنَّ عَبْدً أَتَي بِالصَّالِحَاتِ غَدًا () وَوَدَّ كُلَّ نَبِيٍّ مُرْسَلٍ وَوَلِيِّ ()
وَصَامَ مَا صَامَ صَوَّامًا بِلاَ ضَجَرٍ () وَقَامَ مَا قَامَ قَوَّامًـا بِلاَ مَلَلٍ ()
وَحَجَّ مَا حَجَّ مِنْ فَرْضٍ وَمِنْ سُنَنٍ () وَطَافَ مَا طَافَ غَيْرُ مُنْتَعِـلٍ ()
وَطَارَ فِي الْجَوِّ لاَ يَأْوِى إِلَى أَحَـدٍ () وَغَاصَ فِي الْبَحْرِ مَأْمُوْنًا مِنَ الْبَلَلِ ()
يَكْسُوْا الْيَتَـامَى مِنَ الدِّيْبَاجِ كُلِّهِمِ () وَيُطْعِمُ الْجَـائِعِيْنَ الْبُرَّ بِالْعَسَـلِ ()
وَعَاشَ فِي النَّـاسِ آلاَفًـا مُؤَلَّفَةً () عَارٍ مِنَ الذَّنْبِ مَعْصُوْمٌ مِنَ الزَّلَـلِ ()
مَا كَانَ فِي الْحَشْرِ عِنْدَ اللهِ مُنْتَفِعًـا () إِلاَّ بِحُبِّ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَـلِيٍّ ()
- “Jika ada seorang hamba datang pada hari kiamat dengan seluruh amal shalehnya.
- Dia selalu mencintai seluruh Nabi, Rasul dan para Wali-Nya.
- Dan selalu berpuasa seperti puasanya orang yang tidak pernah bosannya.
- Dan selalu beribadah malam seperti orang yang beribadah dengan tiada hentinya.
- Dan tak pernah meninggalkan satu hajipun baik wajib maupun sunnahnya.
- Dan selalu thawaf dengan tanpa beralas kaki, yang sedemikian rajinnya.
- Dan dapat terbang di udara dengan tiada henti, hingga tak satupun dihinggapinya.
- Dan mampu menyelam di lautan yang air laut-pun tak membasahinya.
- Dan selalu memberi pakaian pada seluruh anak yatim dengan bahan yang sangat bagusnya.
- Dan selalu memberi makan dengan gandum dan madu asli pada orang-orang yang sangat laparnya.
- Dan selalu bersikap pada seluruh manusia dengan penuh kasih sayangnya.
- Dan tak pernah berdosa, hingga kesalahanpun sepi darinya.
- Tiadalah di sisi Allah semuanya itu berguna.
- Kecuali mencintai Imam ‘Ali sebagai Imamnya.”
12 (Imam ath-Thabari, hadits ats-Tsaqalain, Syeikh Ibnu Hajar, ash-Shawa’iqul-Muhriqah bab11 hal. 89).